LAPORAN
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
EKSPERIMEN-EKSPERIMEN DASAR
Kelompok
3
Hidayatul
Karimah 11171020000007
Rizqi
Nadhirasari 11171020000011
Amanda
Dwi Alleynisa 11171020000005
Ferizki
Tri Darma 11171020000018
Nurul
Aisyah 11171020000022
Hasbiah
Luthfi 11171020000025
PROGRAM
STUDI FARMASI
FAKULTAS
ILMU KKESEHATAN
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MARET
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah
memberikan berkah dan rahmat bagi umat-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas laporan praktikum farmakologi. Dalam menyusun laporan ini banyak pihak
yang terlibat maka dari itu kami mengucapkan terima kasih pada mereka yang
membantu kami.
Banyak hal yang kami peroleh dari praktikum farmakologi.
Hal yang kami peroleh tersebut kami jadikan bahan dalam laporan praktikum ini.
Dibutuhkan kerjasama dalam pembuatan laporan ini. Oleh karena itu kami berusaha
untuk bekerjasama agar pembuatan laporan ini dapat berjalan lancer.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih atas perhatian
dan dukungannya sehingga dapat terselesaikan. Kami berharap agar laporan ini
bermanfaat dan digunakan sebaik mungkin.
Jakarta, 24 Maret 2019
Tim
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………….....…1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….....3
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Tujuan Praktikum………………………………………………………………………...4
1.2.
Latar Belakang……………………………………….………………………………......4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori……………………………………….………………………………............6
BAB III METODE KERJA
3.1.
Alat dan Bahan………………………………………………………………………......9
3.2.
Prosedur Kerja…………………………………………………………………………...9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil……………………………………………………………………………….........11
4.2.
Pembahasan………………………………………………………………………….….14
BAB V PENUTUP
5.1.
Kesimpulan…………………………………………………………………………..….18
5.2.
Saran…………………………………………………………………………………….18
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Praktikum
Setelah
menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa diharapkan:
1.
Mengenal
teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai pemberian obat
2.
Menyadari
berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya
3.
Dapat
menyatakan beberapa konsekwensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat
terhadap efeknya
4.
Mengenal
manifestasi berbagai obat yang diberikan.
1.2
Latar Belakang
Dalam
mendalami ilmu kesehatan tentu farmakologi adalah ilmu yang sangat penting dan
berkaitan erat dengan ilmu kesehatan. Farmakologi adalah ilmu yang berhubungan
dengan obat-obatan. Dimana hal ini
bertujuan obat yang diberikan berharap memberikan manfaat dan efek yang
diinginkan kepada yang menggunakannya, dengan begitu tentu farmakologi memiliki
peran yang sangat penting terhadap kesehatan individu dan orang banyak.
Obat
merupakan zat yang diguakan utnuki mendiagnosis, mengurangi rasa sakit serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut
Keputusan Mnetri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bagan
atau paduan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan untuk menetapkan diagnosis,
mencegah mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, atau gejala
penyakit,atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. Mayoritas obat
dirancang untuk bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak
jarang obat yang berkerja secara menyeluruh.
Sebelum
obat digunakan untuk dikonsumsi dan digunakan oleh orang banyak, tentu obat itu
harus melewati banyak penelitian yang cukup panjang untuk sampai ketangan
pasien. Berbagai penelitian dilakukan untuk memastikan keamanan obat tersebut
baik secara praklinik dengan menggunakan hewan coba ataupun klinik dengan
menggunakan manusia. Uji praklinik
merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in vivo maupu
in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Setiap jenis uji pra
klinik dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh pelaku dan fasilitas
yang kompeten. (Kementrian Kesehatan , 2000).
Dalam
uji farmakologi pra klinik digunakan hewan uji berupa mencit, yang kemudian
dapat dilihat bagaimana obat bereaksi terhadap hewan coba, dosis yang diberikan
dan tempat pemberian obat tentu sangat berpengaruh terhadap waktu kerja obat.
Hal inilah yang kemudian akan diamati oleh mahasiswa yang kemudian
membandingkan setiap dosis dan tempat pemberian obat terhadap efek yang
diperlihatkan oleh hewan coba.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Rute pemberian obat merupakan salah
satu factor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan
fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak mula obat dalam
tubuh. Karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda,
struktur anatomi dari lingkungan kontak antara
obat-tubuh yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat
yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda,
tergantung dari pemberian obat.
Pemilihan
rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat serta kondisi
pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
1.
Tujuan terapi
menghendaki efek local atau efek sistemik
2.
Apakah kerja awal obat yang
dikehendaki itu masa kerjanya cepat atau lama
3.
Stabilitas obat di
dalam lambung atau usus
4.
Keamanan relative dalam
penggunaan melalui bermacam-macam rute
5.
Rute yang tepat bagi
pasien
6.
Harga obat yang
relative ekonomis
7.
Kemampuan pasien
menelan obat melalui oral
Bentuk sediaan yang diberikan akan
mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan
mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat
memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat
beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek
obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Efek
sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal
atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra
muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek
lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan
diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan
dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh
atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan
Rute
penggunaan obat dapat dengan cara:
a. Melalui rute oral
b. Melalui rute parenteral
c. Melalui rute inhalasi
d. Melalui rute membran mukosa seperti mata,
hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. Melalui rute kulit (Anief, 1990)
Pemberian obat
pada hewan uji dapat diberikan secara per oral, subkutan, intramuscular,
intravena,dan intraperitonial. Secara per oral dapat dilakukan dengan
mencampurkan dengan makanan, bisa juga dengan menggunakan jarum khusus
berukuran khusus 20 dan panjang 5 cm untuk memasukkan obat langsung pada bagian
esophagus hewan uji. Jarum ini ujungnya bulat dan
berlubang ke samping. Rute subkutan paling mudah dilakukan pada mencit.
Obat-obat dapat diberikan kepda mencit dengan jarum yang panjangnya 0,5-1,0 cm
dan ukuran 22-24 gauge. Obat bisa disuntikkan di bawah kulit di daerah punggung
atau di daerah perut. Kekurangan rute ini adalah obat harus dapat larut dalam
cairan hingga dapat disuntikkan. Rute pemberian obat secara intramuscular lebih
sulit dikarenakan otot mencit sangat kecil, obat
bisa disuntikkan ke otot paha bagian belakang dengan jarum panjang 0,5-1,0 cm
dan ukuran 24 gauge. Suntikan tidak boleh terlalu dalam agar tidak terkena pembuluh darah. Cara
interperitonial hampir sama dengan cara intramuscular, yaitu suntikan dilakukan di daerah
abdomen di antara cartilage xiphoidea dan symphisis pubis (Siswandono, 1995)
Dimasukkannya suatu obat ke dalam
golongan sedative-hipnotik menunjukkan bahwa obat tersebut mampu menyebabkan
sedasi/kantuk atau menyebabkan tidur. Obat sedative yang efektif haruslah
mengurangi rasa cemas dan menimbulkan efek menenangkan. Suatu obat hipnotik
haruslah menimbulkan rasa kantuk dan mendorong dimulai dan terpeliharanya
keadaan tidur. Depresi fungsi susunan saraf pusat merupakan ciri sebagian besar
obat sedative-hipnotik (Katzung, B.G, 1989)
Obat yang digunakan adalah
diazepam. Diazepam merupakan
obat dari golongan Benzodiazepine. Benzodiazepine merupakan obat yang paling
banyak digunakan sebagai obat antixiolitik. Obat ini juga telah menggantikan
posisi barbiturate dan meprobamate sebagai obat anti cemas, ini dikarenakan
benzodiazepine masih lebih aman dan juga lebih efektif. Obat ini memiliki efek
sedative, muscle-relaxant, dan anti konvulsi pada hewan terhadap meprobamate,
tidak memiliki efek pada system saraf otonom, dan secara umum rendah
toksisitasnya. Percobaan klinis membuktikan sediaan ini memiliki efek anti
cemas dan anti kejang pada manusia dan memiliki dan diperkenalkan dipasaran
pada tahun 1960, dan hanya 2,5 tahun kemudian dimulai penelitian tentang
farmakologinya (Sirtori CR, 2000). Diazepam bekerja dengan
cara mempengaruhi neurotransmiter, yang berfungsi memancarkan sinyal ke sel
otak. Obat ini digunakan untuk mengatasi gangguan kecemasan, insomnia,
kejang-kejang, gejala putus alkohol akut, serta digunakan sebagai obat bius
sebelum operasi.
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan
Bahan
1. Mencit jantan
2. Obat : diazepam dosis 60
mg/kg (manusia)
3. Kepekatan larutan obat 10 mg/2 ml
4. Alat suntik
5. Timbangan hewan, wadah pengamatan, dan peralatan lain
3.2 Prosedur
Kerja
a.
Rute
pemberian obat secara oral
Bahan
dan alat untuk eksperimen:
Hewan
percobaan : Mencit
Obat
yang diberikan : Diazepam
Dosis
obat :
0,1-0,2 mg/kg (dosis manusia IV)
Konsentrasi
larutan obat : 10 mg/2 ml
Alat
yang diperlukan : Alat suntik
1 ml, jarum oral
Prosedur
kerja
Mencit
dipegang pada tengkuknya, jarum oral telah dipasang pada alat suntik berupa
obat, diselipkan dekat langit-langit mencit dan diluncurkan sampai masuk ke
esophagus, larutan didesak ke luar dari alat sunntik, kepada tikus secara oral,
dapat diberi maksimal 5 ml/100 g bobot tubuhnya.
b.
Rute
pemberian obat secara subkutan
Bahan
dan alat untuk eksperimen
Hewan
percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti
pada pemberian oral.
Prosedur
kerja
Penyuntikan
biasanya dilakukan dibawah kulit tengkuk atau abdomen. Seluruh jarum langsung
ditusukkan ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.
c.
Rute
pemberian obat secara intravena
Bahan
dan alat untuk eksperimen
Hewan
percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti
pada pemberian oral.
Prosedur
kerja
-
Tikus dimasukkan ke
dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar
-
Sebelum disuntik
sebaiknya pembuluh balik pada ekor didilatasi dengan penghangatan atau
pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton atau eter
-
Bila jarum tidak masuk
ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat sekitar daerah penyuntikan memutih
dan bila piston alat suntik ditarik tidak ada darah yang mengalir kedalamnya.
-
Dalam keadaan dimana
harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal
ekor.
d.
Rute
pemberian obat secara intraperitoneal
Bahan
dan alat untuk eksperimen
Hewan
percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti
pada pemberian oral.
Prosedur
kerja
Mencit
dipegang pada tengkuknya, sedemikian sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari
kepala. Lalu larutan disuntikkan ke dalam abdomen lebih tinggi dari kepala.
Lalu larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari mencit.
e.
Rute
pemberian obat secara rektal
Bahan
dan alat untuk eksperimen
Hewan
percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti
pada pemberian oral.
Prosedur
kerja
Kateter
dibasahi dulu dengan paraffin atau gliserin, kemudian dimasukkan ke dalan
rectum mencit sejauh kira-kira 4 cm dan larutan obat didesak ke luar.
Pengaruh
variasi biologik terhadap efek obat
1.
Siapkan hewan
coba : 2 mencit jantan
2.
Hitung dosis,
suntikkan secara intraperitoneal larutan obat.
3.
Setelah
penyuntikan obat, masing-masing mencit ditempatkan dalam kandang terpisah dan
diamati efeknya selama 45 menit.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Mencit
|
BB Mencit (kg)
|
Rute Pemberian
|
Dosis (VAO)
|
Pengamatan
|
|
Waktu
|
Respon
|
||||
Kelompok 1
|
0,024 kg
|
Oral
|
0,059 ml
|
Setelah injeksi
|
Gatal-gatal, terlihat
dari kaki depannya yang menggaruk badan
|
30 detik
|
Usaha menegakkan diri
berhasil dan gerakan mulai tidak terkoordinasi
|
||||
10 menit
|
Gerakan mulai
melambat
|
||||
24 menit
|
Gerakan dan aktivitas
semakin berkurang
|
||||
31 menit
|
Mulai diam dan
mengantuk
|
||||
50 menit
|
Sudah kembali aktif
bergerak
|
||||
Kelompok 2
|
0,022 kg
|
Intramuskular
|
0,05 ml
|
3 menit
|
Tidak tidur tetapi
mengalami ataksia
|
7 menit
|
Tidur, tetapi tegak
ketika diberi rangsangan nyeri
|
||||
24 menit
|
Mulai sedikit aktif
|
||||
40 menit
|
Sudah aktif bergerak
tetapi kaki yang luka (bagian injeksi) tidak
bisa bergerak
|
||||
Kelompok 3
|
0,024 kg
|
Subkutan
|
0,059 ml
|
Setelah injeksi
|
Kejang-kejang
|
1 menit
|
Tidak bergerak sama
sekali (mati)
|
||||
0,028 kg
|
Subkutan
|
0,069 ml
|
Setelah injeksi
|
Gatal-gatal,
menggaruk tengkuk (bagian injeksi)
|
|
30 detik
|
Usaha menegakkan diri
berhasil
|
||||
1:40
|
Gerakan mulai
melambat
|
||||
5 menit
|
Gerakan dan aktivitas
semakin berkurang
|
||||
30 menit
|
Sudah mulai aktif
bergerak
|
||||
Kelompok 4
|
0,023
kg
|
Intraperitoneal
|
0,05 ml
|
15 detik
|
Tenang mulai tidak
bergerak
|
1 menit
|
Jalan mulai
sempoyongan
|
||||
3 menit
|
Lemah, mengantuk,
jalan semakin sempoyongan
|
||||
7 menit
|
Tidak bergerak, tidak
kuat bangun ketika ditidurkan di telapak tangan
|
||||
9 menit
|
Tidak mampu
membalikkan badan
|
||||
12 menit
|
Suhu tubuh hangat
|
||||
15 menit
|
Mulai timbul respon
di bagian kepala, detak jantung lebih cepat dari sebelumnya
|
||||
34 menit
|
Mulai aktif kembali,
mulai berjalan
|
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini mempelajari
tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh. Pada
dasarnya rute pemberian obat mempengaruhi bagaimana obat tersebut dapat bekerja
di dalam tubuh dengan baik. Sehingga menjadi penentu keberhasilan bagaimana
obat tersebut bekerja dan efek yang ditimbulkan obat setelah diberikan. Hewan
yang digunakan pada praktikum kali ini adalah mencit. Mencit memiliki
metabolisme yang cepat dalam tubuhnya sehingga sangat cocok jika digunakan
sebagai objek pengamatan.
Pemberian obat pada hewan uji
dilakukan dengan beberapa cara
diantaranya oral, subkutan, intramuskular, intravena, intraperitoneal
dan rektal. Pada saat praktikum kelompok kami melakukan pemberian secara
subkutan.
4.2.1 Pembahasan Oral
(Kelompok 1)
Percobaan
pemberian obat terhadap mencit melalui cara oral (pemberian obat melalui mulut
masuk ke saluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul (jarum
sonde) agar tidak membahayakan mencit. Obat yang diberikan merupakan diazepam
yang merupakan obat sedatif dengan dosis manusia 60 mg/kg BB dan konsentrasi 5
mg/ml. Mencit yang digunakan adalah mencit betina dengan bobot badan 0,024 kg,
setelah melalui perhitungan Volume Administrasi Obat (VAO) didapatkan hasil
volume injeksi per oral pada mencit sebesar
0,059 ml.
Pada pengamatan yang dilakukan
didapatkan hasil bahwa setelah pemberian obat mencit langsung menunjukkan
respon seperti gatal-gatal (terlihat dari reaksi mencit yang kaki depannya
menggaruk badan), kemudian pada detik ke-30 gerakan mencit mulai tidak
terkoordianasi namun usaha menegakkan diri masih berhasil, di menit ke-10
gerakan mencit mulai sedikit lambat, pada menit ke-24 gerakan dan aktivitas
mencit semakin berkurang, pada menit ke-31 mencit mulai mengantuk dan diam,
kemudian aktif bergerak kembali di menit ke-50. Dari hasil pengamatan tersebut
dapat terlihat bahwa efek sedatif dari obat diazepam terjadi pada menit ke-31,
agak lebih lambat dari cara pemberian lainnya karena absorpsi obat tidak
sempurna ke lokasi sistemik karena tempat pemberian yang melalui saluran
intestinal, dan mula kerja obat lebih lambat karena obat dimetabolisme pada
lintasan pertamanya melalui dinding usus atau hati (first pass metabolism),
sedangkan pada pemberian obat secara intramuskular, subkutan, inraperitoneal,
dan rektal obat tidak melalui first pass metabolism sehingga adsorpsi
obat lebih cepat dan efek sedatif lebih cepat didapatkan.
4.2.2 Pembahasan
Intramuskular (Kelompok
2A)
Pada percobaan mencit
kedua dilakukan pemberian obat dengan rute pemberian secara intramuskular. Dosis
manusia yang digunakan sama seperti percobaan kelompok 1. Mencit yang digunakan
oleh kelompok 2 memiliki bobot badan 0,022 kg sehingga diperoleh volume
administrasi obat sebesar 0,05 ml.
Pada rute pemberian ini, obat disuntikkan ke dalam otot paha kiri
posterior (belakang), jangan sampai jarum masuk ke dalam vena, sehingga selalu
dilakukan pengecekan dengan menarik kembali piston alat suntik, apabila darah
tidak keluar berarti jarum tidak masuk ke vena. Berdasarkan pengamatan terhadap
respon mencit setelah pemberian obat dilakukan, pada menit ke-3 mencit tidak
tidur tetapi mengalami gangguan koordinasi dan keseimbangan (ataksia), hal ini
ditunjukkan dengan perilaku mencit yang kesulitan berjalan (sempoyongan). Pada
menit ke-7 mencit tertidur, tetapi tegak saat diberi rangsangan nyeri. Pada
menit ke-24 mencit sudah mulai aktif bergerak. Pada menit ke-40 mencit sudah
aktif bergerak tetapi kaki yang luka (bagian injeksi) tidak bisa bergerak, hal ini disebabkan karena
terjadinya kesalahan dalam proses penyuntikan, penyuntikan dilakukan terlalu
dalam, sehingga kakinya terluka. Dari hasil pengamatan tersebut dapat terlihat
bahwa efek sedatif dari obat diazepam terjadi pada menit ke-7.
4.2.3
Pembahasan Subkutan (Kelompok
3A)
Pemberian secara subkutan adalah dengan
memberikan injeksi pada bagian tengkuk atau tepatnya dibawah kulit. Kelebihan
dari pemberian secara subkutan ini dapat dilakukan dalam keadaan sadar, akan
tetapi juga dapat menimbulkan iritasi pada kulit yang disuntikkan jika tidak
diberikan dan dibersihkan secara baik.
Pada saat melakukan tindakan,
kelompok kami memiliki dua ekor mencit yang sudah disiapkan yaitu sebagai
percobaan dan sebagai pembanding. Perlakuan pertama adalah dengan menimbang
berat badan mencit. Karena banyaknya volume obat yang akan di injeksikan pada
mencit tergantung pada berat badan mencit dengan menggunakan rumus VAO.
Kemudian diberikan
injeksi pada tengkuk. Setelah
obat disuntikkan, mencit melakukan sedikit serangan dan beberapa saat kemudian mencit
mengalami kejang-kejang. Pada menit
pertama mencit mati. Kemungkinan yang
menyebabkan mencit mati adalah karena cara penyuntikkan kami yang belum benar
dan penusukan jarum yang terlalu dalam, sehingga membuat terkenanya organ lain
pada mencit yang membuat mencit mati. Hal lainnya adalah ketika melakukan
penyuntikkan kami melakukan dengan beberapa kali injeksi karena kondisi mencit
yang sedikit liar, sehingga jika diberikan hanya dengan satu kali injeksi obat
tidak semuanya masuk ke tempat sasaran, oleh karena itu kami melakukannya sebanyak
dua kali.
Perlakuan selanjutnya kami
menggunakan mencit yang kedua dengan bobot 28 g untuk dilakukan percobaan. Kami
melakukan penyuntikan dengan lebih berhati-hati dan melakukan satu kali tusukan di bagian tengkuk. Reaksi
yang ditimbulkan mencit yaitu mengalami gatal-gatal dan menggaruk-garuk pada
bagian yang disuntikkan. Setelah itu mencit berusaha untuk berdiri setelah obat
diberikan, usaha tersebut pun berhasil. Pada saat 1 menit 40 pergerakkan mencit
sudah mulai lambat. Kemudian saat memasuki menit ke 5 pergerakkan mencit pun
semakin lambat. Pengamatan yang kami lakukan hanya sampai menit ke 30, reaksi
yang ditimbulkan mencit adalah bergerak aktif kembali. Pada umunya pemberian
obat secara subkutan memang memiliki reaksi yang cukup lama karena absorpsi
terjadi secara konstan.
Pada rute pemberian obat secara
subkutan umumnya absorpsi terjadi secara lambat dan kosntan sehingga efeknya
bertahan lama. Oleh karena itu waktu yang dihasilkan ketika menimbulkan efek
relatif cukup lama dibandingkan dengan intraperitoneal. Karena obat diabsorpsi
cukup lama yaitu 30 menit, maka efeknya juga akan bertahan lama. Pada awal
menit pertama ketika mencit disuntikkan dengan diazepam, mencit tidak
menimbulkan reaksi yang spesifik, mencit hanya merasakan sedikit gatal pada
bagian yang disuntikkan, setelah 5 menit kemudian, pergerakan mencit sudah
mulai lambat, mencit mengalami efek resisten (tidak tidur akan tetapi mengalami
ataksia), pada menit ke 9 mencit menimbulkan efek yang diinginkan yaitu tidur,
akan tetapi bangun jika diberikan rangsang. Pada menit ke 30 mencit pun kembali
aktif seperti semula dikarenakan efek obat diazepam yang diberikan sudah habis.
4.2.3
Pembahasan kelompok 4A
Pada perocobaan mencit keempat
dilakukan pemberian obat dengan rute pemberian secara Intraperitoneal . Pada
rute pemberian ini, obat disuntikkan ke dalam abdomennya, dengan cara mencit di
pegang pada tengkuknya supaya posisi abdomennya lebih tinggi dari kepala, dan pastikan pada saat
penyuntikan abdomennya lebih tinggi dari kepala dengan membentuk sudut 10°
dengan abdomennya. Pastikan jarum
disuntikkan agak menepi dari garis tengah, untuk menghindari terkenanya kandung
kencing dan jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai hati.
Berdasarkan pengamatan terhadap respon mencit setelah pemberian obat dilakukan,
pada detik ke-15 mencit mulai tenang dan mulai tidak bergerak. Pada menit ke-1 jalannya mulai sempoyongan (tidak seimbang). Pada
menit ke-3 mencit sudah mulai lemah, mengantuk, dan jalannya semakin
sempoyongan. Pada menit ke-7 mencit sudah tidak bergerak, tidak kuat bangun
ketika ditidurkan di telapak tangan (diberikan rangsangan). Pada menit ke-9
mencit tidak mampu membalikkan badan. Pada menit ke-12 suhu tubuh mencit mulai
panas. Pada menit ke-15 mulai timbul respon di bagian kepala apabila diberi
rangsangan, detak jantung lebih cepat dari sebelumnya. Pada
menit ke-34
mencit sudah mulai aktif bergerak.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari
praktikum ini dapat disimpulkan jika :
1. Diazepam merupakan obat dari golongan
Benzodiazepine. Benzodiazepine merupakan obat yang paling banyak digunakan
sebagai obat antixiolitik.
2. Rute
pemberian obat yang memiliki onset tercepat terhadap
mencit adalah intraperitoneal, hal ini sesuai dengan literatur.
3. Rute
pemberian obat yang memiliki durasi terlama
terhadap mencit adalah oral, hal ini sesuai dengan literatur.
5.2 Saran
Sebaiknya dalam pemberian obat harus berhati-hati dan
dilakukan secara tepat sesuai dengan prosedur agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan.
Daftar Pustaka
Anief, Moh.
2000. Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada
UniversityPress : Yogyakarta
Katzung, Betram
G., Farmakologi Dasar dan Klinik,
Salemba Medika : Jakarta.
Siswandono, B .1995. Kimia
Medisinal. Surabaya : Airlangga Press
Tim Dosen Pengampu Praktikum
Farmakologi. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Tangerang Selatan : UIN
Jakarta
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteajoqq^^cc
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.biz...^_~3:23 PM 15-Sep-20
segera di add Whatshapp : +855969190856