LAPORAN
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
ANALGETIKA DAN HUBUNGAN DOSIS-RESPON
Kelompok
3
Hidayatul
Karimah 11171020000007
Rizqi
Nadhirasari 11171020000011
Amanda
Dwi Alleynisa 11171020000005
Ferizki
Tri Darma 11171020000018
Nurul
Aisyah 11171020000022
Hasbiah
Luthfi 11171020000025
PROGRAM
STUDI FARMASI
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MARET
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah
memberikan berkah dan rahmat bagi umat-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas laporan praktikum farmakologi. Dalam menyusun laporan ini banyak pihak
yang terlibat maka dari itu kami mengucapkan terima kasih pada mereka yang
membantu kami.
Banyak hal yang kami peroleh dari praktikum farmakologi.
Hal yang kami peroleh tersebut kami jadikan bahan dalam laporan praktikum ini.
Dibutuhkan kerjasama dalam pembuatan laporan ini. Oleh karena itu kami berusaha
untuk bekerjasama agar pembuatan laporan ini dapat berjalan lancer.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih atas perhatian
dan dukungannya sehingga dapat terselesaikan. Kami berharap agar laporan ini
bermanfaat dan digunakan sebaik mungkin.
Jakarta, 31 Maret 2019
Tim
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………….....…1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….....3
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Tujuan Praktikum………………………………………………………………………...4
1.2.
Latar Belakang……………………………………….………………………………......4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori……………………………………….………………………………............6
BAB III METODE KERJA
3.1.
Alat dan Bahan………………………………………………………………………......13 Prosedur
Kerja…………………………………………………………………………...13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil………………………………………………………………………………..........15
4.2.
Pembahasan………………………………………………………………………….….20
BAB V PENUTUP
5.1.
Kesimpulan…………………………………………………………………………..….23
5.2.
Saran…………………………………………………………………………………….23
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Praktikum
Setelah
menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa diharapkan:
1.
Mengenal
berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimen efek analgesik suatu obat.
2.
Mempu
mengobservasi dan menyimpulkan perubahan respon akibat pemberian berbagai dosis
analgetika.
1.2
Latar Belakang
Dalam
mendalami ilmu kesehatan tentu farmakologi adalah ilmu yang sangat penting dan
berkaitan erat dengan ilmu kesehatan. Farmakologi adalah ilmu yang berhubungan
dengan obat-obatan. Dimana hal ini
bertujuan obat yang diberikan berharap memberikan manfaat dan efek yang diinginkan
kepada yang menggunakannya, dengan begitu tentu farmakologi memiliki peran yang
sangat penting terhadap kesehatan individu dan orang banyak.
Obat
merupakan zat yang diguakan utnuki mendiagnosis, mengurangi rasa sakit serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut
Keputusan Mnetri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bagan
atau paduan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan untuk menetapkan diagnosis,
mencegah mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, atau gejala
penyakit,atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. Mayoritas obat
dirancang untuk bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak
jarang obat yang berkerja secara menyeluruh.
Sebelum
obat digunakan untuk dikonsumsi dan digunakan oleh orang banyak, tentu obat itu
harus melewati banyak penelitian yang cukup panjang untuk sampai ketangan
pasien. Berbagai penelitian dilakukan untuk memastikan keamanan obat tersebut
baik secara praklinik dengan menggunakan hewan coba ataupun klinik dengan
menggunakan manusia. Uji praklinik
merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in vivo maupu
in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Setiap jenis uji pra
klinik dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh pelaku dan fasilitas
yang kompeten. (Kementrian Kesehatan , 2000).
Dalam
uji farmakologi pra klinik digunakan hewan uji berupa mencit, yang kemudian
dapat dilihat bagaimana obat bereaksi terhadap hewan coba, dosis yang diberikan
dan tempat pemberian obat tentu sangat berpengaruh terhadap waktu kerja obat. Hal
inilah yang kemudian akan diamati oleh mahasiswa yang kemudian membandingkan
setiap dosis dan tempat pemberian obat terhadap efek yang diperlihatkan oleh
hewan coba.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Menurut International Association
for the Study of Pain (IASP), nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial
yang digambarkan dalam bentuk urusan tersebut. Definisi nyeri tersebut
menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja
respon sensorik daei suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang
dinyatakan pendertita, tetapi juga merupakan respon emosional yang disadari
atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya
Hampir semua sensasi nyeri
disebabkan oleh pembebasan senyawa-senyawa kimia tertentu oleh stimulus nyeri.
Senyawa kimia yang disebabkan ini dapat menimbulkan nyeri karena mengeksitasi
ujung-ujung saraf nyeri, menyebabkan zat-zat lain menimbulkan nyeri,
menimbulkan kejangan otot-otot visceral/iritasi (kerusakan jaringan setempat).
Sifat nyeri yang timbul tergantung pada serabut saraf yang menghantar impuls
nyeri ke korteks sensorik di otak, maka sensasi nyeri disadari sebagai nyeri
yang tajam, menusuk atau hanya nyeri ngilu.
Penyadaran sensasi nyeri sendiri
mempuyai komponen psikologis karena meskipun mempunyai nilai ambang intensitas
stimulus untuk nyeri relatif konstan pada orang normal, tetapi sensasi nyeri
sendiri sebagai respon terhadap stimulus nyeri dapat sangat bervariasi dari
orang ke orang.Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala
yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya
tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik,
atau kejang otot.
Nyeri yang disebabkan oleh
rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada
jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut
mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang
dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di
kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat di seluruh jaringan
dan organ tubuh, kecuali sistem saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke
otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat banyak sinaps
melalui sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus
impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls
dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007)
Obat Analgetik
Analgetik adalah obat atau senyawa
yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Rasa nyeri ini
diakibatkan oleh terlepasnya mediator nyeri seperti brandikinin, prostaglandin,
dan lain-lain dari jaringan yang rusak kemudian merangsang reseptor nyeri ujung
saraf perifer ataupun di tempat lain (Tjay dan Rahardja, 2002).
Secara umum analgetik dibagi dalam
dua golongan, yakni analgetik non-narkotik dan analgetik narkotika.
1. Analgetik
narkotik
Senyawa
golongan ini memiliki daya analgetik yang kuat sekali dengan titik kerja di
susunan saraf pusat. Analgetik jenis ini umumnya mengurangi kesadaran (sifat
yang meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euphoria),
mengakibatkan toleransi dan habituasi, ketergantungan fisik dan psikis dengan
gejala-gejala abstinensi bila penggunaan dihentikan (Tjay dan Rahardja, 2002).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, analgetik narkotik dapat digolongkan menjadi
tiga macam yaitu:
a. Agonis
opiate, dapat menghilangkan rasa nyeri dengan cara mengikat reseptor opioid pada sistem saraf.
Contoh : morfin, kodein, heroin, metadon, petidin, dan tramadol.
b. Antagonis
opiat, bekerja dengan menduduki salah satu reseptor opioid pada sistem saraf. Contoh
: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin.
c. Kombinasi,
bekerja dengan mengikat reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi kerjanya dengan
sempurna.
2. Analgetik
non-narkotik
Obat-obat
ini sering disebut golongan obat analgetika-antipiretika atau Non Steroidal
Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) (Siswandono dan Soekardjo, 1995) juga dinamakan
analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi susunan saraf pusat, tidak
menurunkan kesadaran, ataupun mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer
mempunyai sifat antipiretik yaitu menurunkan panas pada keadaan demam. Dengan
demikian analgetika perifer dapat disebut pula analgetika-antipiretik. Khasiat
berdasarkan rangsangnya terhadap pusat pengaturan kalor di hipotalamus membawa
akibat terjadinya vasodilator perifer (di kulit), dengan bertambahnya
pengeluaran kalor yang disertai dengan keluarnya keringat yang berlebihan.
Obat-obat golongan analgetika ini dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu :
a. Golongan
salisilat : natrium salisilat, asetosal, salisilamid, dan benorilat
b. Turunan
p-aminofenol : fenasetin, parasetamol
c. Turunan
pirazolon : antipirin, aminofenazon, dipiron dan asam difluminat
d. Turunan
antranilat : glafenin, asam mefenamat, dan asam difluminat (Tjay dan Rahardja,
2002)
Contoh Obat Anagetik
1. Ketorolac
Ketorolac
adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan memiliki sifat antipiretik,
analgesik, dan antiinflamasi, ketorolac tersedia dalam bentuk sediaan oral dan
injeksi.
a. Indikasi
Ketorolac
diindikasikan untuk manajemen jangka pendek nyeri akut yang membutuhkan kaliber
manajemen nyeri yang tersedia oleh opioid. Pengobatan menggunakan
ketorolac biasanya untuk mengelola nyeri
pasca operasi, nyeri tulang belakang dan jaringan lunak, rheumatoid arthritis,
osteoarthritis, ankylosing spondylitis, gangguan menstruasi dan sakit kepala di
antara penyakit lainnya. Manfaat pemilihan ketorolac dibandingkan analgesik
lain yang memiliki potensi serupa adalah bahwa tampaknya tidak ada risiko
ketergantungan atau toleransi terhadap penggunaan ketorolac.
b. Farmakodinamik
Ketorolac
bekerja dengan menghambat COX-1 dan COX-2 enzim yang biasanya bertanggung jawab
untuk mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Penghambatan enzim COX-1
dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan risiko ulserasi lambung yang
terkait dengan ketorolak, sedangkan sifat anti-inflamasi dan analgesik yang
diinginkan terkait dengan penghambatan enzim COX-2. Enzim COX-2 merupakan enzim
yang bersifat tidak dapat diinduksi dan bertanggung jawab untuk mengubah asam
arakidonat menjadi prostaglandin yang memediasi peradangan dan nyeri. Dengan
memblokir jalur ini, ketorolac mencapai tujuan analgesia-nya dan mengurangi
peradangan.
c. Farmakokinetik
Ketorolac diadsorpsi dengan cepat dan sempurna segera setelah
pemberian oral, Volume distribusi ketorolac yang
tampak pada manusia yang sehat adalah 0,25 L/kg atau kurang. Metabolisme
ketorolac terjadi di hati dengan jalur metabolisme utama pada manusia adalah
konjugasi asam glukuronat. Eliminisasi utama ketorolac terjadi di ginjal,
sekitar 92% dari dosis dapat dipulihkan dalam urin dengan 60% dari pemulihan
tidak dapat diubah dan 40% dapat dipulihkan sebagai metabolit, selain itu 6%
dari dosis tunggal dapat dieliminasi melalui feses.
d. Efek samping
Tingkat efek samping meningkat dengan dosis ketorolak
yang lebih tinggi. Efek samping yang paling sering diamati pada pasien
meliputi: nyeri perut, dispepsia, mual, dan sakit kepala. Sebagian besar efek
samping terkait dengan penggunaan jangka pendek bersifat ringan, terkait dengan
saluran pencernaan dan sistem saraf yang terjadi pada sekitar 39% pasien. Gejala
umum dari overdosis ketorolak meliputi mual, muntah, nyeri epigastrium,
perdarahan saluran cerna, kelesuan, dan kantuk. Gejala overdosis yang lebih
jarang termasuk gagal ginjal akut, hipertensi, depresi pernapasan, dan koma.
2. Tramadol
Tramadol merupakan analgetik yang bekerja di sentral yang memiliki
afinitas sedang pada reseptor mu(”) dan afinitasnya lemah pada reseptor kappa
dan delta opioid. Obat golongan opioid sendiri telah banyak digunakan sebagai
obat anti nyeri kronis dan nyeri non-maligna.
Tramadol tergolong dalam opioid sintetik lemah, sehingga dapat
berikatan dengan reseptor morfin pada tubuh manusia. Obat ini memiliki
efektifitas yang sama dengan morfin atau miperidin walaupun reseptor tramadol
berjumlah lebih sedikit. Dibandingan dengan analgesik NSAID, Tramadol lebih
aman untuk digunakan karena tidak memiliki efek yang serius terhadap
pencernaan, sistem koagulasi, dan ginjal.
Kerugian tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan
koumadin dan kejadian kejang. Oleh karena itu pada pasien epilepsi, penggunaan
tramadol sebaiknya dihindari. Selanjutnya efek samping tramadol yang paling
sering terjadi adalah meningkatnya insidensi mual dan muntah pada pasien
perioperatif. Selain itu, tramadol juga dapat menyebabkan sensasi berputar,
konstipasi, pusing, dan penurunan kesadaran. Penggunaan tramadol sebaiknya
dihentikan bila didapatkan gejala seperti kejang, nadi lemah, dan kesulitan
bernafas.
a.
Indikasi
Obat ini bermanfaat pada penanganan nyeri kronik karena obat ini
tidak menyebabkan toleransi atau adiksi dan tidak berkaitan dengan toksisitas
organ utama atau efek sedatif yang signifikan. Obat ini juga bermanfaat pada
pasien yang mengalami intoleransi pada obat anti inflamasi non steroid.
b.
Farmakodinamik
Tramadol menghambat jalur nyeri yang terjadi di tingkat tulang
belakang. Penghambatan neurotransmiter oleh enansiomer tramadol telah terbukti
meningkatkan jalur penurunan penghambatan yang terkait dengan transmisi rasa
sakit di SSP, pada saat yang sama tramadol
juga menyajikan sifat anestesi lokal dengan memblokir saluran kalium. dan
mekanisme aksi sekundernya dianggap meningkatkan aktivitas kontrol penghambatan
endogen dan mengurangi transmisi rasa sakit.
c.
Farmakokinetik
Pada pemberian oral, bioavalibilitas tramadol dalam tubuh berkisar
berkisar antara 75 hingga 90% tergantung pada kondisi tubuh pasien. Tramadol
dieliminasi terutama melalui metabolisme oleh hati dan metabolit diekskresikan
terutama oleh ginjal, menyumbang 90% dari ekskresi sedangkan 10% sisanya
diekskresikan melalui feses, 30% dari pemulihan
tidak dapat diubah dan 60% dapat dipulihkan sebagai metabolit.
d. Dosis obat
Tramadol dapat diberikan secara oral, i.m. atau i.v. dengan dosis
50-100 mg dan dapat diulang setiap 6-7 jam dengan dosis maksimal 400 mg per
hari.19,20Kadar terapeutik dalam darah berkisar antara 100-300 ng/ml. Obat ini
dapat melakukan penetrasi pada sawar darah dengan baik, sehingga konsentrasi
tramadol dapat dihitung pada cairan serebrospinal.
3.
Metamizol
Metamizole atau yang dikenal juga dengan metampiron atau dipiron
adalah obat yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan menurunkan panas.
Nyeri yang dirasakan dapat berupa sakit gigi, sakit kepala, arthralgia dengan intensitas ringan hingga sedang. Metamizole bekerja
dengan cara menghambat prostaglandin dalam menyebabkan reaksi peradangan berupa
rasa nyeri, pembengkakan, dan demam.
Hubungan dosis dan respon
Dosis dan respon pasien berhubungan
erat dengan potensi relative farmakologis dan efikasi maksimal obat dalam
kaitannya dengan efak terapeutik yang di harapkan. Adapun respon dosis sangat
dipengaruhi oleh :
1. Dosis
yang diberikan
2. Penurunan/kenaikan
tekanan darah
3. Kondisi
jantung
4. Tingkat
metabolisme dan eksresi
Respon obat masing –
masing individu berbeda –
beda. Respon idiosinkratik biasanya disebabakan
oleh perbedaana genetic pada metabolisme obat / mekanisme-mekanisme
imunologik, termasuk rasa alergi. Empat mekanismeumum yang mempengaruhi kemampuan
merespon suatu obat :
1. Perubahan
konsentrasi obat yang mencapai reseptor
2. Variasi
dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen
3. Perubahan
dalam jumlah/ fungsi reseptor
4. Perubahan
dalam komponen respondastal dan seseptor
Respons terhadap dosis obat yang
rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis. Namun,
dengan meningkatnya dosis
penigkatan respon menurun.
Pada akhirnya tercapailah dosis
yang tidak dapat meningkatkan respon lagi.
2.1. Metode
dan pengujian daya analgetik
1. Metode
tail-flick
Uji analgetik dengan metode tail-flick
digunakan untuk mengukur nyeri nociseptif spinal berdasarkan sensitifitas hewan
pada kenaikan temperatur. Uji ini pertama kali dikenalkan oleh D’Amour and
Smith (1941) dan dimodifikasi oleh Dewey et al. (1970). Rangsang nyeri yang
digunakan pada metode ini berupa sorotan cahaya panas yang dipaparkan pada ekor
mencit. Respon yang terjadi, mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai
dengan mencit menjetikkan ekornya.
Respon yang diamati adalah lamanya waktu
latensi yaitu waktu yang diperlukan sejak mencit diletakkan diatas tail flick
sampai menjetikkan ekornya.
2. Metode
hot-plate
Uji analgetik dengan metode hot-plate
digunakan untuk mengukur nyeri nosiseptif spinal berdasarkan sensitifitas hewan
pada kenaikan temperatur. Rangsang nyeri yang digunakan pada metode ini berupa
lempeng panas yang dipaparkan pada telapak kaki mencit. Respon yang terjadi,
mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan menjilatinya dan
melompat-lompat dari tabung pembatas.
Respon
yang diamati adalah lamanya waktu latensi yaitu waktu yang diperlukan sejak
mencit diletakkan diatas hot plate
sampai mencit menjilati kakinya dan melompat dari tabung pembatas.
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan
Bahan
1. Mencit 2 ekor
2. Obat : Ketorolac dan Tramadol
Dosis : 50 mg/kg
(dosis manusia)
Konsentrasi : 50
mg/ml
3. Timbangan hewan
4. Alat suntik
5. Alat untuk pengujian
6. stopwatch
3.2 Prosedur
Kerja
a.
Metode
Jentik
Ekor
Bahan
dan alat untuk eksperimen:
Hewan
percobaan : Mencit
Obat
yang diberikan : Tramadol
Dosis
obat : 0,2 mg/kg (dosis manusia
IV)
Konsentrasi
larutan obat : 50 mg/ ml
Alat
yang diperlukan : Alat suntik
1 ml, air panas dengan suhu 55oC
Prosedur
kerja
1.
Mencit ditimbang
dan diberi nomor
2.
Catat dengan
menggunakan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk menjentikkan ekornya
keluar dari air panas sebelum pemberian obat. Setiap rangkaian pengamatan
dilakukan tiga kali selang 2 menit. Pengamatan pertama diabaikan. Hasil
pengamatan terakhir dirata-ratakan dan dicatat sebagai respon normal
masing-masing tikus.
3.
Menyuntikan
secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah
dikonversikan.
4.
Pengamatan
dilakukan pada menit ke 5, 10,15,20,25 dan 30 setelah pemberian obat.
5.
Membuat tabel
hasil pengamatan dengan lengkap.
6.
Menggambar suatu
kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk
stimulus nyeri.
b.
Metode hot plate
Bahan
dan alat untuk eksperimen:
Hewan
percobaan : Mencit
Obat
yang diberikan : Tramadol
Dosis
obat : 0,2 mg/kg (dosis manusia
IV)
Konsentrasi
larutan obat : 30 mg/2 ml
Alat
yang diperlukan : Alat suntik
1 ml, hot plate dengan suhu 55oC
Prosedur
kerja
1.
Mencit ditimbang
dan diberi nomor
2.
Catat dengan
menggunakan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk mengangkat dan
menjilat kaki depannya sebelum pemberian obat. Pengamatan pertama diabaikan.
Hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan dan dicatat sebagai respon normal
masing-masing tikus.
3.
Menyuntikan
secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah
dikonversikan.
4.
Pengamatan
dilakukan pada menit ke 5,10,15,20 dan 30 setelah pemberian obat.
5.
Membuat tabel
hasil pengamatan dengan lengkap.
6.
Menggambar suatu
kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk
stimulus nyeri.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Kelompok 1
Mencit
|
Obat
|
Konsentrasi
Obat
|
Rute
Pemberian
|
Berat Mencit
|
Obat Manusia
|
1
|
Tramadol
|
50 mg/ml
|
Intramuskular
|
0,027 kg
|
300/60 kg
|
2
|
Ketorolac
|
30 mg/ml
|
Intramuskular
|
0,025 kg
|
120/60 kg
|
Mencit 1
HED = Dosis mencit
300/60 = Dosis mencit
5 = Dosis mencit
Dosis mencit = 61,728
VAO =
VAO = 0,03 ml
|
Mencit 2
HED = Dosis mencit
300/60 = Dosis mencit
2 = Dosis mencit
Dosis mencit = 24,69
VAO =
VAO = 0,02 ml
|
·
Mencit
1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode hot plate
Percobaan
I → 2 detik
Percobaan
2 → 2,8 detik
Percobaan
3 → 2,3 detik
Rata-rata
= 1,26 detik
·
Mencit
2, respon sebelum diberi ketorolac dengan metode tail flick
Percobaan
I →1,7 detik
Percobaan
2 → 0,9 detik
Percobaan
3 → 1,6 detik
Rata-rata
= 2,27 detik
Kelompok 2
Mencit
|
Obat
|
Konsentrasi
Obat
|
Rute
Pemberian
|
Berat Mencit
|
Obat Manusia
|
1
|
Tramadol
|
50 mg/ml
|
Intramuskular
|
0,025 kg
|
300/60 kg
|
2
|
Novalgin
|
500
mg/ml
|
Intramuskular
|
0,024 kg
|
2500/60 kg
|
Mencit 1
HED = Dosis mencit
300/60 = Dosis mencit
5 = Dosis mencit
Dosis mencit = 61,73
VAO =
VAO = 0,029 ml
|
Mencit 2
HED = Dosis mencit
2500/60 = Dosis mencit
41,67 = Dosis mencit
Dosis mencit = 514,44
VAO =
VAO = 0,026 ml
|
·
Mencit
1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode tail flick
Percobaan
I → 1,2 detik
Percobaan
2 → 2,2 detik
Percobaan
3 → 1,6 detik
Rata-rata
= 1,7 detik
·
Mencit
2, respon sebelum diberi novalgin dengan metode hot plate
Percobaan
I → 5,74 detik
Percobaan
2 → 11,83 detik
Percobaan
3 → 5,37 detik
Rata-rata
= 7,64 detik
Kelompok 3
Mencit
|
Obat
|
Konsentrasi
Obat
|
Rute
Pemberian
|
Berat Mencit
|
Obat Manusia
|
1
|
Tramadol
|
50 mg/ml
|
Intraperitoneal
|
0,024 kg
|
300/60 kg
|
2
|
Ketorolac
|
30 mg/ml
|
Intraperitoneal
|
0,022 kg
|
120/60 kg
|
Mencit 1
HED = Dosis mencit
300/60 = Dosis mencit
5 = Dosis mencit
Dosis mencit = 61,72
VAO =
VAO = 0,03 ml
|
Mencit 2
HED = Dosis mencit
120/60 = Dosis mencit
2 = Dosis mencit
Dosis mencit = 24,7
VAO =
VAO = 0,02 ml
|
·
Mencit
1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode hot plate
Percobaan
I → 2 detik
Percobaan
2 → 1,3 detik
Percobaan
3 → 1,1 detik
Rata-rata
= 1,46 detik
·
Mencit
2, respon sebelum diberi ketorolac dengan metode tail flick
Percobaan
I →1,7 detik
Percobaan
2 → 0,9 detik
Percobaan
3 → 1,6 detik
Rata-rata
= 1,4 detik
Kelompok 4
Mencit
|
Obat
|
Konsentrasi
Obat
|
Rute
Pemberian
|
Berat Mencit
|
Obat Manusia
|
1
|
Tramadol
|
50 mg/ml
|
Intraperitoneal
|
0,02 kg
|
300/60 kg
|
2
|
Novalgin
|
500 mg/ml
|
Intraperitoneal
|
0,023 kg
|
2500/60 kg
|
Mencit 1
HED = Dosis mencit
300/60 = Dosis mencit
5 = Dosis mencit
Dosis mencit = 61,72
VAO =
VAO = 0,024 ml
|
Mencit 2
HED = Dosis mencit
2500/60 = Dosis mencit
41,64 = Dosis mencit
Dosis mencit = 514,44
VAO =
VAO = 0,023 ml
|
·
Mencit
1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode tail flick
Percobaan
I → 0,78 detik
Percobaan
2 → 2,47 detik
Percobaan
3 → 0,99 detik
Rata-rata
= 1,4 detik
·
Mencit
2, respon sebelum diberi novalgin dengan metode hot plate
Percobaan
I → 6,42 detik
Percobaan
2 → 6,31 detik
Percobaan
3 → 5,87 detik
Rata-rata
= 6,4 detik
Metode Hot
Plate
Mencit
|
BB (kg)
|
Rute
pemberian
|
Dosis (VAO)
|
Pengamatan
(waktu)
|
|||||
5’
|
10’
|
15’
|
20’
|
25’
|
30’
|
||||
Kelompok 1
|
0,027 kg
|
IM
|
0,03 ml
|
0,87 Detik
|
1,52 Detik
|
34,88 Detik
|
38,50 Detik
|
1:03:79 Menit
|
1:07:3 Menit
|
Kelompok 2
|
0,025 kg
|
IM
|
0,026 ml
|
6,89 Detik
|
12,75 Detik
|
24,70 Detik
|
23,47 Detik
|
21,34 Detik
|
10.05 Detik
|
Kelompok 3
|
0,024 kg
|
IP
|
0,03 ml
|
8 Detik
|
26 Detik
|
25 Detik
|
29,3 Detik
|
7,6 Detik
|
15 Detik
|
Kelompok 4
|
0,023 kg
|
IP
|
0,023 ml
|
11,5 Detik
|
17,8 Detik
|
24,15 Detik
|
27,8 Detik
|
22,3 Detik
|
7,9 Detik
|
Metode Tail
Flick
Mencit
|
BB (kg)
|
Rute
pemberian
|
Dosis (VAO)
|
Pengamatan
(waktu)
|
|||||
5’
|
10’
|
15’
|
20’
|
25’
|
30’
|
||||
Kelompok 1
|
0,025 kg
|
IM
|
0,02 ml
|
1,32 Detik
|
1,58 Detik
|
1,55 Detik
|
0,99 Detik
|
2,49 Detik
|
2,22 Detik
|
Kelompok 2
|
0,024 kg
|
IM
|
0,029 ml
|
16,6 Detik
|
1:20:5 Menit
|
2:15:3 Menit
|
2:23:7 Menit
|
4:06:5 Menit
|
3:35:4 Menit
|
Kelompok 3
|
0,22 kg
|
IP
|
0,02 ml
|
2,23 Detik
|
3,35 Detik
|
3,02 Detik
|
4,14 Detik
|
2,97 Detik
|
6,57 Detik
|
Kelompok 4
|
0,02 kg
|
IP
|
0,024 ml
|
14,3 Detik
|
5 Menit
|
4,4 Menit
|
2,10 Menit
|
3,20 Menit
|
4,15 Menit
|
KURVA TAILFLICK
KURVA HOTPLATE
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini mempelajari
mengenai analgetik dan hubungan dosis respon yang bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana obat analgetik mampu menimbulkan efek terhadap hewan coba. Terdapat dua
metode yang dilakukan pada percobaan ini diantaranya metode jentik ekor (tail
flick) dan metode pelat panas (hot plate). Metode tail flick adalah suatu
metode pemberian rangsangan nyeri terhadap hewan coba dengan pemberian air
panas bersuhu 50ÂșC. Dimana ekor mencit dimasukkan ke dalam air panas dan mencit
akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan menjetikkan ekornya keluar.
Sedangkan metode pelat panas adalah metode pemberian rangsangan nyeri yang
digunakan berupa lantai kandang yang panas sehingga mencit akan menimbulkan
respon dengan mengangkat kakinya ke atas kemudian menjilat kakinya. Oleh karena
itu diberikan obat analgetik untuk mengetahui sejauh mana mencit dapat menahan
rangsangan nyeri yang diberikan dengan menggunakan dua metode tersebut.
Berdasarkan literatur, metode pelat panas lebih sensitif memberikan sensasi
panas karena pada metode ini bagian tubuh yang terkena rangsang panas adalah
kaki dimana kaki memiliki luas permukaan lebih besar dari pada bagian ekor,
sehingga metode pelat panas menyebabkan hewan uji lebih sensitif merasakan
panas.
Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran. Nyeri perlu dihilangkan jika telah mengganggu aktifitas tubuh. Nyeri
juga sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan dalam tubuh dan merupakan proses
dari penyembuhan ( inflamasi). Terdapat tiga buah obat analgetik yang digunakan
diantaranya adalah Tramadol, Novalgin, dan Ketorolac serta diberikan dengan
rute yang berbeda yakni melalui intramuscular dan intraperitoneal. Pemberian
secara intraperitoneal dengan cara jarum disuntikkan membentuk sudut 10 derajat
menembus kulit dan masuk ke rongga peritoneal. Pemberian secara intramuskular
yakni dengan disuntikkan larutan obat ke dalam oto paha kiri belakang.
Pada
praktikum ini kelompok 1 melakukan pemberian obat tramadol secara intramuskular
dengan menggunakan metode hot plate didapatkan hasil yaitu di menit ke 5 belum
menimbulkan efek analgesik karena waktu yang didapat kurang dari waktu kontrol.
Di menit ke 10 sudah memberikan efek analgesik dan pada menit ke 15, 20, 25 dan
30 efek analgesik yang ditimbulkan semakin meningkat. Dibandingkan dengan kelompok
3 pemberian obat secara intraperitoneal pada menit ke 5 sudah memberikan efek
analgesik dan di menit ke 25 efek analgesik yang ditimbulkan masih ada namun
menurun, begitupun dengan kelompok 4 (obat novalgin). Onset yang ditimbulkan
melalui intraperitoneal lebih cepat, hal ini sesuai dengan literatur karena
pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah sehingga absorpsinya lebih
cepat. Obat yang diberikan secara
intraperitoneal akan diabsorpsi
pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati sebelum
mencapai sirkulasi sistemik.
Pada
kelompok 2 (obat novalgin) dengan penyuntikan melalui intramuskular dengan
metode hotplate didapatkan hasil yaitu sudah mencapai onset pada menit ke 10
yamg ditandai dengan kaki mencit tahan pada saat diletakkan diatas hot plate.
Kemudian pada menit ke 20, 25, dan 30 efek analgesik mulai menurun. Menurut
literature pemberian rute melalui intramuskular menghasilkan onset waktu yang
lebih lambat dibandingkan dengan intraperitoneal karena pada penyuntikannya
dilakukan pada lapisan otot yang tebal dan tidak banyak pembuluh darah sehingga
absorpsi obat lebih lambat dibandingkan dengan intraperitoneal.
Selanjutnya
melalui metode tail flick yang dilakukan oleh kelompok 1 dengan pemberian obat
ketorolac melalui intramuskular didapatkan hasil pada menit ke 5, 10, 15, dan
20 efek analgesik belum terlihat dan baru terlihat pada menit 25. Dibandingkan
dengan kelompok 3 yang melakukan pemberian obat ketorolac melalui
intraperitoneal didapatkan hasil pada menit ke 5 sudah menimbulkan efek
analgesik dan semakin meningkat pada menit ke 10, 15, dan 20. Hal ini sesuai
dengan literature bahwa pemberian rute secara intraperitoneal lebih cepat dari
pemberian intramuskular.
Pada
kelompok 2 pemberian obat tramadol melalui intramuskular didapatkan hasil yaitu
pada menit ke 5 sudah menimbulkan efek analgesik dan pada menit ke 10, 15, 20,
dan 25 efek yang ditimbulkan semakin meningkat dan mulai menurun pada menit ke
30. Kemudian pada kelompok 4 yang melakukan pemberian obat melalui intraperitoneal
didapatkan hasil yaitu pada menit ke 5 juga sudah menimbulkan efek analgesik
tetapi pada menit ke 15 efek yang ditimbulkan mulai menurun.
Dari data tersebut dapat kita
ketahui bahwa setiap dosis obat yang diberikan dan cara pemberiannya
menimbulkan efek yang berbeda. Respon obat setiap individu berbeda-beda.
biasanya disebabkan oleh metabolisme obat atau mekanisme-mekanisme imunologik,
termasuk rasa alergi. Terdapat empat mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan
merespon suatu obat diantaranya perubahan konsentrasi obat yang mencapai
reseptor, variasi dalam konsentrasi suatu ligan, perubahan dalam jumlah fungsi
reseptor, dan perubahan-perubahan dalam komponen-komponen reseptor (Katzung
Bertram,2001)
Agar menimbulkan efek obat dengan
intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat
distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam 10%) pada kisaran
dosis tersebut (dalam log dosis) maka akan diperoleh kurva distribusi normal.
Hubungan antara dosis obat dengan respon penderita adalah potensi obat dan
efikasi maksimal suatu obat. Potensi suatu obat dipengaruhi oleh absorpsi obat,
distribusi, biotransformasi dan mekanisme kerja obat atau suatu dosis yang
harus diberikan agar dapat menghasilkan suatu respon. Sedangkan pada efek
maksimal dapat dinilai berdasarkan kemanjuran suatu obat dalam bekerja, apakah
obat tersebut dapat menyembuhkan suatu penyakit. Setiap efikasi suatu obat dapat dibatasi agar tidak menimbulkan
hal yang tidak diinginkan dengan cara mengurangi dosisinya.
Diantara ketiga obat yang digunakan
dalam praktikum yaitu Tramadol, Novalgin, dan Ketorolac, menimbulkan efek yang
berbeda. Dari data di atas diketahui bahwa pada metode Tail fick dan hot plate
yang memberikan efek yang paling lama adalah ketorolac. Karena pada obat ini
mencit dapat merasakan respon nyeri lebih lama dari pada menggunakan Novalgin
dan Tramadol. Jika dibandingkan
antara Ketorolac, Novalgin dan Tramadol, Ketorolac
memiliki efek analgetik
yang lebih kuat dari pada Novalgin dan Tramadol. Karena ketorolac memiliki
bioavailibilitas 80-100%. Serta memiliki onset administrasi IM dalam 10 menit,
dengan puncak analgesia pada 75-150 menit, dan memiliki waktu paruh 4-6 jam pada orang dewasa, 3,8-6,1 jam pada
pasien anak. Tramadol memiliki bioavailibilitas yang lebih dari pada novalgin,
yaitu pada dosis tunggal secara oral 68%
dan 100% bila digunakan secara IM, selain itu waktu paruh tramadol lebih lama
dibandingkan dengan novalgin, pada tramadol waktu paruhnya adalah 6 jam dan
waktu paruh novalgin hanya 1-4 jam.
BAB
V
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari
praktikum ini dapat disimpulkan jika :
1.
Analgetik
merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran.
2.
Pada metode Tail fick
dan hot plate yang memberikan efek yang paling lama adalah ketorolac.
3.
Metode
pelat panas lebih sensitif memberikan sensasi panas karena pada metode ini
bagian tubuh yang terkena rangsang panas adalah kaki dimana kaki memiliki luas
permukaan lebih besar dari pada bagian ekor.
6.2 Saran
Sebaiknya dalam melakukan pengamatan efek obat dengan
menggunakan stopwatch dicatat secara tepat dan teliti. Begitupun dengan
penangan hewan coba, harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menyiksa hewan
coba.
Daftar Pustaka
Katzung, Betram
G., Farmakologi Dasar dan Klinik,
Salemba Medika : Jakarta.
Siswandono,
B .1995. Kimia Medisinal.
Surabaya : Airlangga Press
Tim Dosen Pengampu Praktikum
Farmakologi. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Tangerang Selatan : UIN Jakarta
Bangun,
Alan Anderson., Witjaksono. 2014. Pengaruh Pemberian Tramadol dan Ketorolak
Terhadap Kadar Kortisol Plasma Tikus Wistar yang Mengalamu Insisi.
Semarang: Jurnal Kedokteran Diponegoro. https://www.drugbank.ca
H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. 1995. Farmakologi
dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.
No comments:
Post a Comment