Tuesday, April 16, 2019

Laporan Praktikum Farmakologi Analgetika dan Hubungan Dosis-Respon


LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
ANALGETIKA DAN HUBUNGAN DOSIS-RESPON

Kelompok 3
Hidayatul Karimah 11171020000007
Rizqi Nadhirasari 11171020000011
Amanda Dwi Alleynisa 11171020000005
Ferizki Tri Darma 11171020000018
Nurul Aisyah 11171020000022
Hasbiah Luthfi 11171020000025


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MARET 2019




KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan berkah dan rahmat bagi umat-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan praktikum farmakologi. Dalam menyusun laporan ini banyak pihak yang terlibat maka dari itu kami mengucapkan terima kasih pada mereka yang membantu kami.
            Banyak hal yang kami peroleh dari praktikum farmakologi. Hal yang kami peroleh tersebut kami jadikan bahan dalam laporan praktikum ini. Dibutuhkan kerjasama dalam pembuatan laporan ini. Oleh karena itu kami berusaha untuk bekerjasama agar pembuatan laporan ini dapat berjalan lancer.
            Akhir kata kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungannya sehingga dapat terselesaikan. Kami berharap agar laporan ini bermanfaat dan digunakan sebaik mungkin.



Jakarta, 31 Maret 2019

                                                                                                                        Tim Penyusun







DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………….....…1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….....3
BAB I PENDAHULUAN
1.1.  Tujuan Praktikum………………………………………………………………………...4
1.2.  Latar Belakang……………………………………….………………………………......4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori……………………………………….………………………………............6
BAB III METODE KERJA
3.1.  Alat dan Bahan………………………………………………………………………......13 Prosedur Kerja…………………………………………………………………………...13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.  Hasil………………………………………………………………………………..........15
4.2.  Pembahasan………………………………………………………………………….….20
BAB V PENUTUP
5.1.  Kesimpulan…………………………………………………………………………..….23
5.2.  Saran…………………………………………………………………………………….23
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa diharapkan:
1.      Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimen efek analgesik suatu obat.
2.      Mempu mengobservasi dan menyimpulkan perubahan respon akibat pemberian berbagai dosis analgetika.
1.2 Latar Belakang
                        Dalam mendalami ilmu kesehatan tentu farmakologi adalah ilmu yang sangat penting dan berkaitan erat dengan ilmu kesehatan. Farmakologi adalah ilmu yang berhubungan dengan obat-obatan.  Dimana hal ini bertujuan obat yang diberikan berharap memberikan manfaat dan efek yang diinginkan kepada yang menggunakannya, dengan begitu tentu farmakologi memiliki peran yang sangat penting terhadap kesehatan individu dan orang banyak.
                        Obat merupakan zat yang diguakan utnuki mendiagnosis, mengurangi rasa sakit serta mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut Keputusan Mnetri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bagan atau paduan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan untuk menetapkan diagnosis, mencegah mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, atau gejala penyakit,atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. Mayoritas obat dirancang untuk bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang obat yang berkerja secara menyeluruh.
                        Sebelum obat digunakan untuk dikonsumsi dan digunakan oleh orang banyak, tentu obat itu harus melewati banyak penelitian yang cukup panjang untuk sampai ketangan pasien. Berbagai penelitian dilakukan untuk memastikan keamanan obat tersebut baik secara praklinik dengan menggunakan hewan coba ataupun klinik dengan menggunakan manusia.  Uji praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in vivo maupu in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Setiap jenis uji pra klinik dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh pelaku dan fasilitas yang kompeten. (Kementrian Kesehatan , 2000).
                        Dalam uji farmakologi pra klinik digunakan hewan uji berupa mencit, yang kemudian dapat dilihat bagaimana obat bereaksi terhadap hewan coba, dosis yang diberikan dan tempat pemberian obat tentu sangat berpengaruh terhadap waktu kerja obat. Hal inilah yang kemudian akan diamati oleh mahasiswa yang kemudian membandingkan setiap dosis dan tempat pemberian obat terhadap efek yang diperlihatkan oleh hewan coba.
                                                                





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Dasar Teori
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial yang digambarkan dalam bentuk urusan tersebut. Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja respon sensorik daei suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang dinyatakan pendertita, tetapi juga merupakan respon emosional yang disadari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya
Hampir semua sensasi nyeri disebabkan oleh pembebasan senyawa-senyawa kimia tertentu oleh stimulus nyeri. Senyawa kimia yang disebabkan ini dapat menimbulkan nyeri karena mengeksitasi ujung-ujung saraf nyeri, menyebabkan zat-zat lain menimbulkan nyeri, menimbulkan kejangan otot-otot visceral/iritasi (kerusakan jaringan setempat). Sifat nyeri yang timbul tergantung pada serabut saraf yang menghantar impuls nyeri ke korteks sensorik di otak, maka sensasi nyeri disadari sebagai nyeri yang tajam, menusuk atau hanya nyeri ngilu.
Penyadaran sensasi nyeri sendiri mempuyai komponen psikologis karena meskipun mempunyai nilai ambang intensitas stimulus untuk nyeri relatif konstan pada orang normal, tetapi sensasi nyeri sendiri sebagai respon terhadap stimulus nyeri dapat sangat bervariasi dari orang ke orang.Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot.
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali sistem saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat banyak sinaps melalui sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007)
Obat Analgetik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Rasa nyeri ini diakibatkan oleh terlepasnya mediator nyeri seperti brandikinin, prostaglandin, dan lain-lain dari jaringan yang rusak kemudian merangsang reseptor nyeri ujung saraf perifer ataupun di tempat lain (Tjay dan Rahardja, 2002).
Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yakni analgetik non-narkotik dan analgetik narkotika.
1.    Analgetik narkotik
Senyawa golongan ini memiliki daya analgetik yang kuat sekali dengan titik kerja di susunan saraf pusat. Analgetik jenis ini umumnya mengurangi kesadaran (sifat yang meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euphoria), mengakibatkan toleransi dan habituasi, ketergantungan fisik dan psikis dengan gejala-gejala abstinensi bila penggunaan dihentikan (Tjay dan Rahardja, 2002). Berdasarkan mekanisme kerjanya, analgetik narkotik dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu:
a.    Agonis opiate, dapat menghilangkan rasa nyeri dengan cara  mengikat reseptor opioid pada sistem saraf. Contoh : morfin, kodein, heroin, metadon, petidin, dan tramadol.
b.    Antagonis opiat, bekerja dengan menduduki salah satu reseptor opioid pada sistem saraf. Contoh : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin.
c.    Kombinasi, bekerja dengan mengikat reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi kerjanya dengan sempurna.
2.    Analgetik non-narkotik
Obat-obat ini sering disebut golongan obat analgetika-antipiretika atau Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) (Siswandono dan Soekardjo, 1995) juga dinamakan analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi susunan saraf pusat, tidak menurunkan kesadaran, ataupun mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer mempunyai sifat antipiretik yaitu menurunkan panas pada keadaan demam. Dengan demikian analgetika perifer dapat disebut pula analgetika-antipiretik. Khasiat berdasarkan rangsangnya terhadap pusat pengaturan kalor di hipotalamus membawa akibat terjadinya vasodilator perifer (di kulit), dengan bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai dengan keluarnya keringat yang berlebihan. Obat-obat golongan analgetika ini dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu :
a.    Golongan salisilat : natrium salisilat, asetosal, salisilamid, dan benorilat
b.    Turunan p-aminofenol : fenasetin, parasetamol
c.    Turunan pirazolon : antipirin, aminofenazon, dipiron dan asam difluminat
d.   Turunan antranilat : glafenin, asam mefenamat, dan asam difluminat (Tjay dan Rahardja, 2002)

Contoh Obat Anagetik
1. Ketorolac
Ketorolac adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan memiliki sifat antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi, ketorolac tersedia dalam bentuk sediaan oral dan injeksi.
a.    Indikasi
Ketorolac diindikasikan untuk manajemen jangka pendek nyeri akut yang membutuhkan kaliber manajemen nyeri yang tersedia oleh opioid. Pengobatan menggunakan ketorolac  biasanya untuk mengelola nyeri pasca operasi, nyeri tulang belakang dan jaringan lunak, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, ankylosing spondylitis, gangguan menstruasi dan sakit kepala di antara penyakit lainnya. Manfaat pemilihan ketorolac dibandingkan analgesik lain yang memiliki potensi serupa adalah bahwa tampaknya tidak ada risiko ketergantungan atau toleransi terhadap penggunaan ketorolac.
b.    Farmakodinamik
Ketorolac bekerja dengan menghambat COX-1 dan COX-2 enzim yang biasanya bertanggung jawab untuk mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Penghambatan enzim COX-1 dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan risiko ulserasi lambung yang terkait dengan ketorolak, sedangkan sifat anti-inflamasi dan analgesik yang diinginkan terkait dengan penghambatan enzim COX-2. Enzim COX-2 merupakan enzim yang bersifat tidak dapat diinduksi dan bertanggung jawab untuk mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin yang memediasi peradangan dan nyeri. Dengan memblokir jalur ini, ketorolac mencapai tujuan analgesia-nya dan mengurangi peradangan.


c.    Farmakokinetik
Ketorolac diadsorpsi dengan cepat dan sempurna segera setelah pemberian oral, Volume distribusi ketorolac yang tampak pada manusia yang sehat adalah 0,25 L/kg atau kurang. Metabolisme ketorolac terjadi di hati dengan jalur metabolisme utama pada manusia adalah konjugasi asam glukuronat. Eliminisasi utama ketorolac terjadi di ginjal, sekitar 92% dari dosis dapat dipulihkan dalam urin dengan 60% dari pemulihan tidak dapat diubah dan 40% dapat dipulihkan sebagai metabolit, selain itu 6% dari dosis tunggal dapat dieliminasi melalui feses.
d.   Efek samping
Tingkat efek samping meningkat dengan dosis ketorolak yang lebih tinggi. Efek samping yang paling sering diamati pada pasien meliputi: nyeri perut, dispepsia, mual, dan sakit kepala. Sebagian besar efek samping terkait dengan penggunaan jangka pendek bersifat ringan, terkait dengan saluran pencernaan dan sistem saraf yang terjadi pada sekitar 39% pasien. Gejala umum dari overdosis ketorolak meliputi mual, muntah, nyeri epigastrium, perdarahan saluran cerna, kelesuan, dan kantuk. Gejala overdosis yang lebih jarang termasuk gagal ginjal akut, hipertensi, depresi pernapasan, dan koma.
2. Tramadol
Tramadol merupakan analgetik yang bekerja di sentral yang memiliki afinitas sedang pada reseptor mu(”) dan afinitasnya lemah pada reseptor kappa dan delta opioid. Obat golongan opioid sendiri telah banyak digunakan sebagai obat anti nyeri kronis dan nyeri non-maligna.
Tramadol tergolong dalam opioid sintetik lemah, sehingga dapat berikatan dengan reseptor morfin pada tubuh manusia. Obat ini memiliki efektifitas yang sama dengan morfin atau miperidin walaupun reseptor tramadol berjumlah lebih sedikit. Dibandingan dengan analgesik NSAID, Tramadol lebih aman untuk digunakan karena tidak memiliki efek yang serius terhadap pencernaan, sistem koagulasi, dan ginjal.
Kerugian tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin dan kejadian kejang. Oleh karena itu pada pasien epilepsi, penggunaan tramadol sebaiknya dihindari. Selanjutnya efek samping tramadol yang paling sering terjadi adalah meningkatnya insidensi mual dan muntah pada pasien perioperatif. Selain itu, tramadol juga dapat menyebabkan sensasi berputar, konstipasi, pusing, dan penurunan kesadaran. Penggunaan tramadol sebaiknya dihentikan bila didapatkan gejala seperti kejang, nadi lemah, dan kesulitan bernafas.
a.    Indikasi
Obat ini bermanfaat pada penanganan nyeri kronik karena obat ini tidak menyebabkan toleransi atau adiksi dan tidak berkaitan dengan toksisitas organ utama atau efek sedatif yang signifikan. Obat ini juga bermanfaat pada pasien yang mengalami intoleransi pada obat anti inflamasi non steroid.
b.    Farmakodinamik
Tramadol menghambat jalur nyeri yang terjadi di tingkat tulang belakang. Penghambatan neurotransmiter oleh enansiomer tramadol telah terbukti meningkatkan jalur penurunan penghambatan yang terkait dengan transmisi rasa sakit di SSP, pada saat yang sama tramadol  juga menyajikan sifat anestesi lokal dengan memblokir saluran kalium. dan mekanisme aksi sekundernya dianggap meningkatkan aktivitas kontrol penghambatan endogen dan mengurangi transmisi rasa sakit.
c.    Farmakokinetik
Pada pemberian oral, bioavalibilitas tramadol dalam tubuh berkisar berkisar antara 75 hingga 90% tergantung pada kondisi tubuh pasien. Tramadol dieliminasi terutama melalui metabolisme oleh hati dan metabolit diekskresikan terutama oleh ginjal, menyumbang 90% dari ekskresi sedangkan 10% sisanya diekskresikan melalui feses, 30% dari pemulihan tidak dapat diubah dan 60% dapat dipulihkan sebagai metabolit.
d.    Dosis obat
Tramadol dapat diberikan secara oral, i.m. atau i.v. dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 6-7 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.19,20Kadar terapeutik dalam darah berkisar antara 100-300 ng/ml. Obat ini dapat melakukan penetrasi pada sawar darah dengan baik, sehingga konsentrasi tramadol dapat dihitung pada cairan serebrospinal.
3. Metamizol
Metamizole atau yang dikenal juga dengan metampiron atau dipiron adalah obat yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan menurunkan panas. Nyeri yang dirasakan dapat berupa sakit gigi, sakit kepala, arthralgia dengan intensitas ringan hingga sedang. Metamizole bekerja dengan cara menghambat prostaglandin dalam menyebabkan reaksi peradangan berupa rasa nyeri, pembengkakan, dan demam.
Hubungan dosis dan respon
Dosis dan respon pasien berhubungan erat dengan potensi relative farmakologis dan efikasi maksimal obat dalam kaitannya dengan efak terapeutik yang di harapkan. Adapun respon dosis sangat dipengaruhi oleh :
1.      Dosis yang diberikan
2.      Penurunan/kenaikan tekanan darah
3.      Kondisi jantung
4.      Tingkat metabolisme dan eksresi
Respon       obat masing          masing individu   berbeda      beda. Respon     idiosinkratik biasanya   disebabakan  oleh perbedaana genetic pada metabolisme obat / mekanisme-mekanisme imunologik, termasuk rasa alergi. Empat  mekanismeumum yang mempengaruhi kemampuan merespon suatu obat :
1.    Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor
2.    Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen
3.    Perubahan dalam jumlah/ fungsi reseptor
4.    Perubahan dalam komponen respondastal dan seseptor
Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis.   Namun,   dengan   meningkatnya   dosis   penigkatan   respon   menurun.   Pada   akhirnya tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi.
2.1.  Metode dan pengujian daya analgetik
1.    Metode tail-flick
Uji analgetik dengan metode tail-flick digunakan untuk mengukur nyeri nociseptif spinal berdasarkan sensitifitas hewan pada kenaikan temperatur. Uji ini pertama kali dikenalkan oleh D’Amour and Smith (1941) dan dimodifikasi oleh Dewey et al. (1970). Rangsang nyeri yang digunakan pada metode ini berupa sorotan cahaya panas yang dipaparkan pada ekor mencit. Respon yang terjadi, mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan mencit menjetikkan ekornya.
Respon yang diamati adalah lamanya waktu latensi yaitu waktu yang diperlukan sejak mencit diletakkan diatas tail flick sampai menjetikkan ekornya.
2.    Metode hot-plate
Uji analgetik dengan metode hot-plate digunakan untuk mengukur nyeri nosiseptif spinal berdasarkan sensitifitas hewan pada kenaikan temperatur. Rangsang nyeri yang digunakan pada metode ini berupa lempeng panas yang dipaparkan pada telapak kaki mencit. Respon yang terjadi, mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan menjilatinya dan melompat-lompat dari tabung pembatas.
Respon yang diamati adalah lamanya waktu latensi yaitu waktu yang diperlukan sejak mencit  diletakkan diatas hot plate sampai mencit menjilati kakinya dan melompat dari tabung pembatas.



























BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
1.      Mencit 2 ekor
2.      Obat : Ketorolac dan Tramadol
Dosis : 50 mg/kg (dosis manusia)
Konsentrasi : 50 mg/ml
3.      Timbangan hewan
4.      Alat suntik
5.      Alat untuk pengujian
6.      stopwatch
3.2 Prosedur Kerja
a.      Metode Jentik Ekor
Bahan dan alat untuk eksperimen:
Hewan percobaan                   : Mencit
Obat yang diberikan               : Tramadol
Dosis obat                               : 0,2 mg/kg (dosis manusia IV)
Konsentrasi larutan obat         : 50 mg/ ml
Alat yang diperlukan              : Alat suntik 1 ml, air panas dengan suhu 55oC
Prosedur kerja
1.      Mencit ditimbang dan diberi nomor
2.      Catat dengan menggunakan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk menjentikkan ekornya keluar dari air panas sebelum pemberian obat. Setiap rangkaian pengamatan dilakukan tiga kali selang 2 menit. Pengamatan pertama diabaikan. Hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan dan dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus.
3.      Menyuntikan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah dikonversikan.
4.      Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 10,15,20,25 dan 30 setelah pemberian obat.
5.      Membuat tabel hasil pengamatan dengan lengkap.
6.      Menggambar suatu kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.

b.      Metode hot plate
Bahan dan alat untuk eksperimen:
Hewan percobaan                   : Mencit
Obat yang diberikan               : Tramadol
Dosis obat                               : 0,2 mg/kg (dosis manusia IV)
Konsentrasi larutan obat         : 30 mg/2 ml
Alat yang diperlukan              : Alat suntik 1 ml, hot plate dengan suhu 55oC
Prosedur kerja
1.      Mencit ditimbang dan diberi nomor
2.      Catat dengan menggunakan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk mengangkat dan menjilat kaki depannya sebelum pemberian obat. Pengamatan pertama diabaikan. Hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan dan dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus.
3.      Menyuntikan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah dikonversikan.
4.      Pengamatan dilakukan pada menit ke 5,10,15,20 dan 30 setelah pemberian obat.
5.      Membuat tabel hasil pengamatan dengan lengkap.
6.      Menggambar suatu kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.











BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan
Kelompok 1
Mencit
Obat
Konsentrasi Obat
Rute Pemberian
Berat Mencit
Obat Manusia
1
Tramadol
50 mg/ml
Intramuskular
0,027 kg
300/60 kg
2
Ketorolac
30 mg/ml
Intramuskular
0,025 kg
120/60 kg

Mencit 1
HED = Dosis mencit  3/37
300/60 = Dosis mencit 0,081
5 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 61,728

VAO =

VAO = 0,03 ml
Mencit 2
HED = Dosis mencit  3/37
300/60 = Dosis mencit 0,081
2 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 24,69

VAO =

VAO = 0,02 ml

·         Mencit 1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode hot plate
Percobaan I → 2 detik
Percobaan 2 → 2,8 detik
Percobaan 3 → 2,3 detik
Rata-rata = 1,26 detik
·         Mencit 2, respon sebelum diberi ketorolac dengan metode tail flick
Percobaan I →1,7 detik
Percobaan 2 → 0,9 detik
Percobaan 3 → 1,6 detik
Rata-rata = 2,27 detik

Kelompok 2
Mencit
Obat
Konsentrasi Obat
Rute Pemberian
Berat Mencit
Obat Manusia
1
Tramadol
50 mg/ml
Intramuskular
0,025 kg
300/60 kg
2
Novalgin
          500 mg/ml
Intramuskular
0,024 kg
2500/60 kg

Mencit 1
HED = Dosis mencit  3/37
300/60 = Dosis mencit 0,081
5 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 61,73

VAO =

VAO = 0,029 ml

Mencit 2
HED = Dosis mencit  3/37
2500/60 = Dosis mencit 0,081
41,67 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 514,44

VAO =

VAO = 0,026  ml

·         Mencit 1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode tail flick
Percobaan I → 1,2 detik
Percobaan 2 → 2,2 detik
Percobaan 3 → 1,6 detik
Rata-rata = 1,7 detik
·         Mencit 2, respon sebelum diberi novalgin dengan metode hot plate
Percobaan I → 5,74 detik
Percobaan 2 → 11,83 detik
Percobaan 3 → 5,37 detik
Rata-rata = 7,64 detik

Kelompok 3
Mencit
Obat
Konsentrasi Obat
Rute Pemberian
Berat Mencit
Obat Manusia
1
Tramadol
50 mg/ml
Intraperitoneal
0,024 kg
300/60 kg
2
Ketorolac
30 mg/ml
Intraperitoneal
0,022 kg
120/60 kg

Mencit 1
HED = Dosis mencit  3/37
300/60 = Dosis mencit 0,081
5 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 61,72

VAO =

VAO = 0,03 ml

Mencit 2
HED = Dosis mencit  3/37
120/60 = Dosis mencit 0,081
2 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 24,7

VAO =

VAO = 0,02  ml

·         Mencit 1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode hot plate
Percobaan I → 2 detik
Percobaan 2 → 1,3 detik
Percobaan 3 → 1,1 detik
Rata-rata = 1,46 detik
·         Mencit 2, respon sebelum diberi ketorolac dengan metode tail flick
Percobaan I →1,7 detik
Percobaan 2 → 0,9 detik
Percobaan 3 → 1,6 detik
Rata-rata = 1,4 detik

Kelompok 4
Mencit
Obat
Konsentrasi Obat
Rute Pemberian
Berat Mencit
Obat Manusia
1
Tramadol
50 mg/ml
Intraperitoneal
0,02 kg
300/60 kg
2
Novalgin
500 mg/ml
Intraperitoneal
0,023 kg
2500/60 kg

Mencit 1
HED = Dosis mencit  3/37
300/60 = Dosis mencit 0,081
5 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 61,72

VAO =

VAO = 0,024 ml

Mencit 2
HED = Dosis mencit  3/37
2500/60 = Dosis mencit 0,081
41,64 = Dosis mencit  0,081
Dosis mencit = 514,44

VAO =

VAO = 0,023  ml

·         Mencit 1, respon sebelum diberi tramadol dengan metode tail flick
Percobaan I → 0,78 detik
Percobaan 2 → 2,47 detik
Percobaan 3 → 0,99 detik
Rata-rata = 1,4 detik
·         Mencit 2, respon sebelum diberi novalgin dengan metode hot plate
Percobaan I → 6,42 detik
Percobaan 2 → 6,31 detik
Percobaan 3 → 5,87 detik
Rata-rata = 6,4 detik
















Metode Hot Plate
Mencit
BB (kg)
Rute pemberian
Dosis (VAO)
Pengamatan (waktu)
5’
10’
15’
20’
25’
30’
Kelompok 1
0,027 kg
IM
0,03 ml
0,87 Detik
1,52 Detik
34,88 Detik
38,50 Detik
1:03:79 Menit
1:07:3 Menit
Kelompok 2
0,025 kg
IM
0,026 ml
6,89 Detik
12,75 Detik
24,70 Detik
23,47 Detik
21,34 Detik
10.05 Detik
Kelompok 3
0,024 kg
IP
0,03 ml
8 Detik
26 Detik
25 Detik
29,3 Detik
7,6 Detik
15 Detik
Kelompok 4
0,023 kg
IP
0,023 ml
11,5 Detik
17,8 Detik
24,15 Detik
27,8 Detik
22,3 Detik
7,9 Detik

Metode Tail Flick
Mencit
BB (kg)
Rute pemberian
Dosis (VAO)
Pengamatan (waktu)
5’
10’
15’
20’
25’
30’
Kelompok 1
0,025 kg
IM
0,02 ml
1,32 Detik
1,58 Detik
1,55 Detik
0,99 Detik
2,49 Detik
2,22 Detik
Kelompok 2
0,024 kg
IM
0,029 ml
16,6 Detik
1:20:5 Menit
2:15:3 Menit
2:23:7 Menit
4:06:5 Menit
3:35:4 Menit
Kelompok 3
0,22 kg
IP
0,02 ml
2,23 Detik
3,35 Detik
3,02 Detik
4,14 Detik
2,97 Detik
6,57 Detik
Kelompok 4
0,02 kg
IP
0,024 ml
14,3 Detik
5 Menit
4,4 Menit
2,10 Menit
3,20 Menit
4,15 Menit









KURVA TAILFLICK
KURVA HOTPLATE
4.2 Pembahasan
            Pada praktikum kali ini mempelajari mengenai analgetik dan hubungan dosis respon yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana obat analgetik mampu menimbulkan efek terhadap hewan coba. Terdapat dua metode yang dilakukan pada percobaan ini diantaranya metode jentik ekor (tail flick) dan metode pelat panas (hot plate). Metode tail flick adalah suatu metode pemberian rangsangan nyeri terhadap hewan coba dengan pemberian air panas bersuhu 50ÂșC. Dimana ekor mencit dimasukkan ke dalam air panas dan mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan menjetikkan ekornya keluar. Sedangkan metode pelat panas adalah metode pemberian rangsangan nyeri yang digunakan berupa lantai kandang yang panas sehingga mencit akan menimbulkan respon dengan mengangkat kakinya ke atas kemudian menjilat kakinya. Oleh karena itu diberikan obat analgetik untuk mengetahui sejauh mana mencit dapat menahan rangsangan nyeri yang diberikan dengan menggunakan dua metode tersebut. Berdasarkan literatur, metode pelat panas lebih sensitif memberikan sensasi panas karena pada metode ini bagian tubuh yang terkena rangsang panas adalah kaki dimana kaki memiliki luas permukaan lebih besar dari pada bagian ekor, sehingga metode pelat panas menyebabkan hewan uji lebih sensitif merasakan panas.
Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri  tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri perlu dihilangkan jika telah mengganggu aktifitas tubuh. Nyeri juga sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau  kelainan dalam tubuh dan merupakan proses dari penyembuhan ( inflamasi). Terdapat tiga buah obat analgetik yang digunakan diantaranya adalah Tramadol, Novalgin, dan Ketorolac serta diberikan dengan rute yang berbeda yakni melalui intramuscular dan intraperitoneal. Pemberian secara intraperitoneal dengan cara jarum disuntikkan membentuk sudut 10 derajat menembus kulit dan masuk ke rongga peritoneal. Pemberian secara intramuskular yakni dengan disuntikkan larutan obat ke dalam oto paha kiri belakang.
Pada praktikum ini kelompok 1 melakukan pemberian obat tramadol secara intramuskular dengan menggunakan metode hot plate didapatkan hasil yaitu di menit ke 5 belum menimbulkan efek analgesik karena waktu yang didapat kurang dari waktu kontrol. Di menit ke 10 sudah memberikan efek analgesik dan pada menit ke 15, 20, 25 dan 30 efek analgesik yang ditimbulkan semakin meningkat. Dibandingkan dengan kelompok 3 pemberian obat secara intraperitoneal pada menit ke 5 sudah memberikan efek analgesik dan di menit ke 25 efek analgesik yang ditimbulkan masih ada namun menurun, begitupun dengan kelompok 4 (obat novalgin). Onset yang ditimbulkan melalui intraperitoneal lebih cepat, hal ini sesuai dengan literatur karena pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah sehingga absorpsinya lebih cepat. Obat yang diberikan secara  intraperitoneal  akan diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
Pada kelompok 2 (obat novalgin) dengan penyuntikan melalui intramuskular dengan metode hotplate didapatkan hasil yaitu sudah mencapai onset pada menit ke 10 yamg ditandai dengan kaki mencit tahan pada saat diletakkan diatas hot plate. Kemudian pada menit ke 20, 25, dan 30 efek analgesik mulai menurun. Menurut literature pemberian rute melalui intramuskular menghasilkan onset waktu yang lebih lambat dibandingkan dengan intraperitoneal karena pada penyuntikannya dilakukan pada lapisan otot yang tebal dan tidak banyak pembuluh darah sehingga absorpsi obat lebih lambat dibandingkan dengan intraperitoneal.
Selanjutnya melalui metode tail flick yang dilakukan oleh kelompok 1 dengan pemberian obat ketorolac melalui intramuskular didapatkan hasil pada menit ke 5, 10, 15, dan 20 efek analgesik belum terlihat dan baru terlihat pada menit 25. Dibandingkan dengan kelompok 3 yang melakukan pemberian obat ketorolac melalui intraperitoneal didapatkan hasil pada menit ke 5 sudah menimbulkan efek analgesik dan semakin meningkat pada menit ke 10, 15, dan 20. Hal ini sesuai dengan literature bahwa pemberian rute secara intraperitoneal lebih cepat dari pemberian intramuskular.
Pada kelompok 2 pemberian obat tramadol melalui intramuskular didapatkan hasil yaitu pada menit ke 5 sudah menimbulkan efek analgesik dan pada menit ke 10, 15, 20, dan 25 efek yang ditimbulkan semakin meningkat dan mulai menurun pada menit ke 30. Kemudian pada kelompok 4 yang melakukan pemberian obat melalui intraperitoneal didapatkan hasil yaitu pada menit ke 5 juga sudah menimbulkan efek analgesik tetapi pada menit ke 15 efek yang ditimbulkan mulai menurun.
            Dari data tersebut dapat kita ketahui bahwa setiap dosis obat yang diberikan dan cara pemberiannya menimbulkan efek yang berbeda. Respon obat setiap individu berbeda-beda. biasanya disebabkan oleh metabolisme obat atau mekanisme-mekanisme imunologik, termasuk rasa alergi. Terdapat empat mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan merespon suatu obat diantaranya perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor, variasi dalam konsentrasi suatu ligan, perubahan dalam jumlah fungsi reseptor, dan perubahan-perubahan dalam komponen-komponen reseptor (Katzung Bertram,2001)
            Agar menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam 10%) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis) maka akan diperoleh kurva distribusi normal. Hubungan antara dosis obat dengan respon penderita adalah potensi obat dan efikasi maksimal suatu obat. Potensi suatu obat dipengaruhi oleh absorpsi obat, distribusi, biotransformasi dan mekanisme kerja obat atau suatu dosis yang harus diberikan agar dapat menghasilkan suatu respon. Sedangkan pada efek maksimal dapat dinilai berdasarkan kemanjuran suatu obat dalam bekerja, apakah obat tersebut dapat menyembuhkan suatu penyakit. Setiap efikasi suatu  obat dapat dibatasi agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan dengan cara mengurangi dosisinya.
            Diantara ketiga obat yang digunakan dalam praktikum yaitu Tramadol, Novalgin, dan Ketorolac, menimbulkan efek yang berbeda. Dari data di atas diketahui bahwa pada metode Tail fick dan hot plate yang memberikan efek yang paling lama adalah ketorolac. Karena pada obat ini mencit dapat merasakan respon nyeri lebih lama dari pada menggunakan Novalgin dan Tramadol. Jika dibandingkan antara Ketorolac, Novalgin dan Tramadol, Ketorolac  memiliki efek analgetik yang lebih kuat dari pada Novalgin dan Tramadol. Karena ketorolac memiliki bioavailibilitas 80-100%. Serta memiliki onset administrasi IM dalam 10 menit, dengan puncak analgesia pada 75-150 menit, dan memiliki waktu paruh  4-6 jam pada orang dewasa, 3,8-6,1 jam pada pasien anak. Tramadol memiliki bioavailibilitas yang lebih dari pada novalgin, yaitu pada dosis tunggal  secara oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM, selain itu waktu paruh tramadol lebih lama dibandingkan dengan novalgin, pada tramadol waktu paruhnya adalah 6 jam dan waktu paruh novalgin hanya 1-4 jam. 






BAB V
PENUTUP

6.1    Kesimpulan
Dari praktikum ini dapat disimpulkan jika :
1.      Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri  tanpa menghilangkan kesadaran.
2.      Pada metode Tail fick dan hot plate yang memberikan efek yang paling lama adalah ketorolac.
3.      Metode pelat panas lebih sensitif memberikan sensasi panas karena pada metode ini bagian tubuh yang terkena rangsang panas adalah kaki dimana kaki memiliki luas permukaan lebih besar dari pada bagian ekor.

6.2    Saran
Sebaiknya dalam melakukan pengamatan efek obat dengan menggunakan stopwatch dicatat secara tepat dan teliti. Begitupun dengan penangan hewan coba, harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menyiksa hewan coba.







Daftar Pustaka
Katzung, Betram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika : Jakarta.
Siswandono, B .1995. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga Press
Tim Dosen Pengampu Praktikum Farmakologi. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Tangerang    Selatan : UIN Jakarta
Bangun, Alan Anderson., Witjaksono. 2014. Pengaruh Pemberian Tramadol dan Ketorolak Terhadap Kadar Kortisol Plasma Tikus Wistar yang Mengalamu Insisi. Semarang: Jurnal Kedokteran Diponegoro. https://www.drugbank.ca
H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.


















No comments:

Post a Comment