Tuesday, April 16, 2019

MORFOLOGI MATOA

Morfologi Matoa
Image result for pohon matoa
Tanaman Matoa adalah tanaman yang berasal dari papua dan termasuk kedalam jenis pohon besar tinggi sekitar 18 meter dan diameter maksimal 1 meter. Tanaman matoa ini biasanya berbuah satu kali dalam setahun, dan berbunga pada bulan juli sampai oktober.
Tanaman matoa ini tumbuh dengan optimal di daerah yang kondisi tanahnya kering dengan lapisan tanah yang tebal. Di papua tanaman ini biasanya hidup di hutan belantara hingga ketinggian 1.200 meter  diatas permukaan air laut. Iklim yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan yakni iklim basah dan tidak dengan curah hujan yang tinggi, tersebar di hampir seluruh wilayah papua baik daratan rendau atau daratan tinggi. Meskipun  begitu, tanaman ini mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi cuaca serta memiliki daya tahan yang tinggi terhadap serangan hama dan penyakit. Selain pulau papua, tanaman matoa juga bisa dijumpai di daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua Nugini. Buah matoa memiliki rasa yang manis, berikut adalah rincian klasifikasi dan morfologi matoa:
Nama ilmiah matoa adalah Pometia pinnata J.R& G.Frost.
Klasifikasi tumbuhan matoa adalah
KINGDOM :Plantae
SUBKINGDOM :Viridiplantae
INFRA KINGDOM:Streptophyta
SUPER DIVISI :Embryophyta
DIVISI :Tracheophyta
SUBDIVISI :Spermatophytina
KELAS :Magnoliopsida
SUB KELAS :Rosidae
ORDO :Sapindales
FAMILI :Sapindaceae
GENUS :Pometia
SPESIES :Pometia pinnata
Ciri-ciri khusus matoa & struktur morfologi matoa yaitu:
Morfologi Akar dan Batang
Pohon matoa bisa tumbuh tinggi dan mempunyai batang yang berkayu(lignosus) dan keras. Pohon ini memiliki tinggi rata-rata 18 meter dengan diameter  rata-rata maksimum 100 cm. dan akar papan tingginya mencapai 5 meter. Akar tanaman matoa adalah tunggang.
Matoa termasuk tumbuhan dikotil. Sehingga memiliki akar tunggang, batang matoa berbentuk silinder, berdiri tegak (erectus), dan bercabang simpodial. Arah cabang matoa adalah miring hingga mendatar, bercabang banyak membentuk pohon rindang.
Morfologi Daun Matoa
Daun tanaman matoa merupakan daun majemuk(folium compositum) yang tersusun berselang seling 4 sampai 12 pasang anak daun. Daun muda berwarna merah cerah, baru kemudian setelah dewasa berwarna hijau. Daun matoa berbentuk jorong(ovalis) dengan panjang 30 sampai 40 cm dan lebar 8 sampai 15 cm.
Helaian daun matoa tebal dan kaku, ujung daun meruncing(acuminatus), pangkal daun tumpul(obtusus), tepi daun merata(integer), permukaan daun bagian atas dan bawah halus, serta berlekuk di bagian pertulangan daun.
Morfologi Bunga Matoa
Bunga matoa adalah bunga majemuk yang muncul dibagian ujung pangkal daun. Mahkota bunga matoa sedikit berbulu dibagian luarnya, dan kelopak bunga agak menyatu dan berwarna kuning berukuran kecil dan letaknya bergerombol.
Morfologi Buah Matoa
Umumnya buah matoa berbuah sekali dalam setahun. Buah matoa berbentuk bundar dan lonjong, ukurannya seperti telur puyuh dengan panjang 1,5 sampai 5 cm dan berdiameter 1 hingga 3 cm. Kulit buahnya licin serta berwarna kuning kehijauan saat muda, kemudian berwarna coklat kemerahan jika sudah matang . kulit ari buah matoa berwarna putih agak transparan yang melekat dibiji.

Efek Farmakologis
Manfaat Buah Matoa
Buah dari tumbuhan matoa memiliki rasa yang manis dan enak dimakan sekaligus kaya akan manfaat bagi kesehatan. Berikut beberapa manfaat yang bisa kita peroleh dari mengonsumsi buah matoa:
  1. Meningkatkan stamina
  2. Mencegah penyakit jantung koroner
  3. Sumber antioksidan alami
  4. Mencegah perkembangan radikal bebas
  5. Baik untuk kesehatan kulit
  6. Mengobati wasir
  7. Mencegah dan mengobati stres
  8. Melancarkan pencernaan
  9. Menetralisir kanker
Manfaat Batang/Kayu Matoa
  1. Mengobati luka
  2. Mengatasi demam
Manfaat Daun Matoa
  1. Mengobati batu ginjal
  2. Mengobati batu ampedu
  3. Meminimalisir resiko penyakit gula
  4. Mengobati hipertensi

STUDI ISLAM 1 pengertian agama

Laporan Praktikum Sediaan Larutan sirup paracetamol dan Diphenhidramin HCl

Laporan Praktikum Farmakologi Eksperimen- Eksperimen Dasar


LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
EKSPERIMEN-EKSPERIMEN DASAR


Kelompok 3
Hidayatul Karimah 11171020000007
Rizqi Nadhirasari 11171020000011
Amanda Dwi Alleynisa 11171020000005
Ferizki Tri Darma 11171020000018
Nurul Aisyah 11171020000022
Hasbiah Luthfi 11171020000025



PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KKESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MARET 2019
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan berkah dan rahmat bagi umat-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan praktikum farmakologi. Dalam menyusun laporan ini banyak pihak yang terlibat maka dari itu kami mengucapkan terima kasih pada mereka yang membantu kami.
            Banyak hal yang kami peroleh dari praktikum farmakologi. Hal yang kami peroleh tersebut kami jadikan bahan dalam laporan praktikum ini. Dibutuhkan kerjasama dalam pembuatan laporan ini. Oleh karena itu kami berusaha untuk bekerjasama agar pembuatan laporan ini dapat berjalan lancer.
            Akhir kata kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungannya sehingga dapat terselesaikan. Kami berharap agar laporan ini bermanfaat dan digunakan sebaik mungkin.



Jakarta, 24 Maret 2019

                                                                                                                        Tim Penyusun







DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………….....…1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….....3
BAB I PENDAHULUAN
1.1.  Tujuan Praktikum………………………………………………………………………...4
1.2.  Latar Belakang……………………………………….………………………………......4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori……………………………………….………………………………............6
BAB III METODE KERJA
3.1.  Alat dan Bahan………………………………………………………………………......9
3.2.  Prosedur Kerja…………………………………………………………………………...9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.  Hasil……………………………………………………………………………….........11
4.2.  Pembahasan………………………………………………………………………….….14
BAB V PENUTUP
5.1.  Kesimpulan…………………………………………………………………………..….18
5.2.  Saran…………………………………………………………………………………….18
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa diharapkan:
1.    Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai pemberian obat
2.    Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya
3.    Dapat menyatakan beberapa konsekwensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya
4.    Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan.
1.2 Latar Belakang
                        Dalam mendalami ilmu kesehatan tentu farmakologi adalah ilmu yang sangat penting dan berkaitan erat dengan ilmu kesehatan. Farmakologi adalah ilmu yang berhubungan dengan obat-obatan.  Dimana hal ini bertujuan obat yang diberikan berharap memberikan manfaat dan efek yang diinginkan kepada yang menggunakannya, dengan begitu tentu farmakologi memiliki peran yang sangat penting terhadap kesehatan individu dan orang banyak.
                        Obat merupakan zat yang diguakan utnuki mendiagnosis, mengurangi rasa sakit serta mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut Keputusan Mnetri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bagan atau paduan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan untuk menetapkan diagnosis, mencegah mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, atau gejala penyakit,atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. Mayoritas obat dirancang untuk bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang obat yang berkerja secara menyeluruh.
                        Sebelum obat digunakan untuk dikonsumsi dan digunakan oleh orang banyak, tentu obat itu harus melewati banyak penelitian yang cukup panjang untuk sampai ketangan pasien. Berbagai penelitian dilakukan untuk memastikan keamanan obat tersebut baik secara praklinik dengan menggunakan hewan coba ataupun klinik dengan menggunakan manusia.  Uji praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in vivo maupu in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Setiap jenis uji pra klinik dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh pelaku dan fasilitas yang kompeten. (Kementrian Kesehatan , 2000).
                        Dalam uji farmakologi pra klinik digunakan hewan uji berupa mencit, yang kemudian dapat dilihat bagaimana obat bereaksi terhadap hewan coba, dosis yang diberikan dan tempat pemberian obat tentu sangat berpengaruh terhadap waktu kerja obat. Hal inilah yang kemudian akan diamati oleh mahasiswa yang kemudian membandingkan setiap dosis dan tempat pemberian obat terhadap efek yang diperlihatkan oleh hewan coba.






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Rute pemberian obat merupakan salah satu factor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak mula obat dalam tubuh. Karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda, struktur anatomi dari lingkungan kontak antara  obat-tubuh yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari pemberian obat.
Pemilihan rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
1.         Tujuan terapi menghendaki efek local atau efek sistemik
2.         Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu masa kerjanya cepat atau lama
3.         Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
4.         Keamanan relative dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
5.         Rute yang tepat bagi pasien
6.         Harga obat yang relative ekonomis
7.         Kemampuan pasien menelan obat melalui oral
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a.       Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b.      Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c.       Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a.  Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b.  Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c.  Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan
Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a.   Melalui rute oral
b.   Melalui rute parenteral
c.   Melalui rute inhalasi
d.   Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e.   Melalui rute kulit (Anief, 1990)
Pemberian obat pada hewan uji dapat diberikan secara per oral, subkutan, intramuscular, intravena,dan intraperitonial. Secara per oral dapat dilakukan dengan mencampurkan dengan makanan, bisa juga dengan menggunakan jarum khusus berukuran khusus 20 dan panjang 5 cm untuk memasukkan obat langsung pada bagian esophagus hewan uji. Jarum ini ujungnya bulat dan berlubang ke samping. Rute subkutan paling mudah dilakukan pada mencit. Obat-obat dapat diberikan kepda mencit dengan jarum yang panjangnya 0,5-1,0 cm dan ukuran 22-24 gauge. Obat bisa disuntikkan di bawah kulit di daerah punggung atau di daerah perut. Kekurangan rute ini adalah obat harus dapat larut dalam cairan hingga dapat disuntikkan. Rute pemberian obat secara intramuscular lebih sulit dikarenakan  otot mencit sangat kecil, obat bisa disuntikkan ke otot paha bagian belakang dengan jarum panjang 0,5-1,0 cm dan ukuran 24 gauge. Suntikan tidak boleh terlalu dalam agar tidak terkena pembuluh darah. Cara interperitonial hampir sama dengan cara intramuscular, yaitu suntikan dilakukan di daerah abdomen di antara cartilage xiphoidea dan symphisis pubis (Siswandono, 1995)
Dimasukkannya suatu obat ke dalam golongan sedative-hipnotik menunjukkan bahwa obat tersebut mampu menyebabkan sedasi/kantuk atau menyebabkan tidur. Obat sedative yang efektif haruslah mengurangi rasa cemas dan menimbulkan efek menenangkan. Suatu obat hipnotik haruslah menimbulkan rasa kantuk dan mendorong dimulai dan terpeliharanya keadaan tidur. Depresi fungsi susunan saraf pusat merupakan ciri sebagian besar obat sedative-hipnotik (Katzung, B.G, 1989)
Obat yang digunakan adalah diazepam. Diazepam merupakan obat dari golongan Benzodiazepine. Benzodiazepine merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai obat antixiolitik. Obat ini juga telah menggantikan posisi barbiturate dan meprobamate sebagai obat anti cemas, ini dikarenakan benzodiazepine masih lebih aman dan juga lebih efektif. Obat ini memiliki efek sedative, muscle-relaxant, dan anti konvulsi pada hewan terhadap meprobamate, tidak memiliki efek pada system saraf otonom, dan secara umum rendah toksisitasnya. Percobaan klinis membuktikan sediaan ini memiliki efek anti cemas dan anti kejang pada manusia dan memiliki dan diperkenalkan dipasaran pada tahun 1960, dan hanya 2,5 tahun kemudian dimulai penelitian tentang farmakologinya (Sirtori CR, 2000). Diazepam bekerja dengan cara mempengaruhi neurotransmiter, yang berfungsi memancarkan sinyal ke sel otak. Obat ini digunakan untuk mengatasi gangguan kecemasan, insomnia, kejang-kejang, gejala putus alkohol akut, serta digunakan sebagai obat bius sebelum operasi.












BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
1.      Mencit jantan
2.      Obat : diazepam dosis 60 mg/kg (manusia)
3.      Kepekatan larutan obat 10 mg/2 ml
4.      Alat suntik
5.      Timbangan hewan, wadah pengamatan, dan peralatan lain
3.2 Prosedur Kerja
a.      Rute pemberian obat secara oral
Bahan dan alat untuk eksperimen:
Hewan percobaan                   : Mencit
Obat yang diberikan               : Diazepam
Dosis obat                               : 0,1-0,2 mg/kg (dosis manusia IV)
Konsentrasi larutan obat         : 10 mg/2 ml
Alat yang diperlukan              : Alat suntik 1 ml, jarum oral
Prosedur kerja
Mencit dipegang pada tengkuknya, jarum oral telah dipasang pada alat suntik berupa obat, diselipkan dekat langit-langit mencit dan diluncurkan sampai masuk ke esophagus, larutan didesak ke luar dari alat sunntik, kepada tikus secara oral, dapat diberi maksimal 5 ml/100 g bobot tubuhnya.
b.      Rute pemberian obat secara subkutan
Bahan dan alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti pada pemberian oral.
Prosedur kerja
Penyuntikan biasanya dilakukan dibawah kulit tengkuk atau abdomen. Seluruh jarum langsung ditusukkan ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.
c.       Rute pemberian obat secara intravena
Bahan dan alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti pada pemberian oral.
Prosedur kerja
-          Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar
-          Sebelum disuntik sebaiknya pembuluh balik pada ekor didilatasi dengan penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton atau eter
-          Bila jarum tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat sekitar daerah penyuntikan memutih dan bila piston alat suntik ditarik tidak ada darah yang mengalir kedalamnya.
-          Dalam keadaan dimana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor.
d.      Rute pemberian obat secara intraperitoneal
Bahan dan alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti pada pemberian oral.
Prosedur kerja
Mencit dipegang pada tengkuknya, sedemikian sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala. Lalu larutan disuntikkan ke dalam abdomen lebih tinggi dari kepala. Lalu larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari mencit.
e.       Rute pemberian obat secara rektal
Bahan dan alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, kepekatan larutan obat, seperti pada pemberian oral.
Prosedur kerja
Kateter dibasahi dulu dengan paraffin atau gliserin, kemudian dimasukkan ke dalan rectum mencit sejauh kira-kira 4 cm dan larutan obat didesak ke luar.

Pengaruh variasi biologik terhadap efek obat
1.      Siapkan hewan coba : 2 mencit jantan
2.      Hitung dosis, suntikkan secara intraperitoneal larutan obat.
3.      Setelah penyuntikan obat, masing-masing mencit ditempatkan dalam kandang terpisah dan diamati efeknya selama 45 menit.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Mencit
BB Mencit (kg)
Rute Pemberian
Dosis (VAO)
Pengamatan
Waktu
Respon

Kelompok 1

0,024 kg

Oral

0,059 ml

Setelah injeksi


Gatal-gatal, terlihat dari kaki depannya yang menggaruk badan





30 detik

Usaha menegakkan diri berhasil dan gerakan mulai tidak terkoordinasi




10 menit

Gerakan mulai melambat




24 menit

Gerakan dan aktivitas semakin berkurang




31 menit

Mulai diam dan mengantuk




50 menit

Sudah kembali aktif bergerak

Kelompok 2

0,022 kg

Intramuskular

0,05 ml

3 menit

Tidak tidur tetapi mengalami ataksia




7 menit

Tidur, tetapi tegak ketika diberi rangsangan nyeri




24 menit

Mulai sedikit aktif




40 menit

Sudah aktif bergerak tetapi kaki yang luka (bagian injeksi) tidak  bisa bergerak

Kelompok 3

0,024 kg

Subkutan

0,059 ml

Setelah injeksi

Kejang-kejang




1 menit

Tidak bergerak sama sekali (mati)

0,028 kg

Subkutan

0,069 ml

Setelah injeksi

Gatal-gatal, menggaruk tengkuk (bagian injeksi)




30 detik

Usaha menegakkan diri berhasil




1:40

Gerakan mulai melambat




5 menit

Gerakan dan aktivitas semakin berkurang




30 menit

Sudah mulai aktif bergerak

Kelompok 4

0,023 kg

Intraperitoneal

0,05 ml

15 detik

Tenang mulai tidak bergerak




1 menit

Jalan mulai sempoyongan




3 menit

Lemah, mengantuk, jalan semakin sempoyongan




7 menit

Tidak bergerak, tidak kuat bangun ketika ditidurkan di telapak tangan




9 menit

Tidak mampu membalikkan badan




12 menit


Suhu tubuh hangat




15 menit

Mulai timbul respon di bagian kepala, detak jantung lebih cepat dari sebelumnya





34 menit

Mulai aktif kembali, mulai berjalan


4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini mempelajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh. Pada dasarnya rute pemberian obat mempengaruhi bagaimana obat tersebut dapat bekerja di dalam tubuh dengan baik. Sehingga menjadi penentu keberhasilan bagaimana obat tersebut bekerja dan efek yang ditimbulkan obat setelah diberikan. Hewan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah mencit. Mencit memiliki metabolisme yang cepat dalam tubuhnya sehingga sangat cocok jika digunakan sebagai objek pengamatan.
Pemberian obat pada hewan uji dilakukan dengan beberapa cara  diantaranya oral, subkutan, intramuskular, intravena, intraperitoneal dan rektal. Pada saat praktikum kelompok kami melakukan pemberian secara subkutan.
4.2.1 Pembahasan Oral (Kelompok 1)
Percobaan pemberian obat terhadap mencit melalui cara oral (pemberian obat melalui mulut masuk ke saluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul (jarum sonde) agar tidak membahayakan mencit. Obat yang diberikan merupakan diazepam yang merupakan obat sedatif dengan dosis manusia 60 mg/kg BB dan konsentrasi 5 mg/ml. Mencit yang digunakan adalah mencit betina dengan bobot badan 0,024 kg, setelah melalui perhitungan Volume Administrasi Obat (VAO) didapatkan hasil volume injeksi per oral pada mencit  sebesar 0,059 ml.
Pada pengamatan yang dilakukan didapatkan hasil bahwa setelah pemberian obat mencit langsung menunjukkan respon seperti gatal-gatal (terlihat dari reaksi mencit yang kaki depannya menggaruk badan), kemudian pada detik ke-30 gerakan mencit mulai tidak terkoordianasi namun usaha menegakkan diri masih berhasil, di menit ke-10 gerakan mencit mulai sedikit lambat, pada menit ke-24 gerakan dan aktivitas mencit semakin berkurang, pada menit ke-31 mencit mulai mengantuk dan diam, kemudian aktif bergerak kembali di menit ke-50. Dari hasil pengamatan tersebut dapat terlihat bahwa efek sedatif dari obat diazepam terjadi pada menit ke-31, agak lebih lambat dari cara pemberian lainnya karena absorpsi obat tidak sempurna ke lokasi sistemik karena tempat pemberian yang melalui saluran intestinal, dan mula kerja obat lebih lambat karena obat dimetabolisme pada lintasan pertamanya melalui dinding usus atau hati (first pass metabolism), sedangkan pada pemberian obat secara intramuskular, subkutan, inraperitoneal, dan rektal obat tidak melalui first pass metabolism sehingga adsorpsi obat lebih cepat dan efek sedatif lebih cepat didapatkan.
4.2.2 Pembahasan Intramuskular (Kelompok 2A)
Pada percobaan  mencit kedua dilakukan pemberian obat dengan rute pemberian secara intramuskular. Dosis manusia yang digunakan sama seperti percobaan kelompok 1. Mencit yang digunakan oleh kelompok 2 memiliki bobot badan 0,022 kg sehingga diperoleh volume administrasi obat sebesar 0,05 ml. Pada rute pemberian ini, obat disuntikkan ke dalam otot paha kiri posterior (belakang), jangan sampai jarum masuk ke dalam vena, sehingga selalu dilakukan pengecekan dengan menarik kembali piston alat suntik, apabila darah tidak keluar berarti jarum tidak masuk ke vena. Berdasarkan pengamatan terhadap respon mencit setelah pemberian obat dilakukan, pada menit ke-3 mencit tidak tidur tetapi mengalami gangguan koordinasi dan keseimbangan (ataksia), hal ini ditunjukkan dengan perilaku mencit yang kesulitan berjalan (sempoyongan). Pada menit ke-7 mencit tertidur, tetapi tegak saat diberi rangsangan nyeri. Pada menit ke-24 mencit sudah mulai aktif bergerak. Pada menit ke-40 mencit sudah aktif bergerak tetapi kaki yang luka (bagian injeksi) tidak  bisa bergerak, hal ini disebabkan karena terjadinya kesalahan dalam proses penyuntikan, penyuntikan dilakukan terlalu dalam, sehingga kakinya terluka. Dari hasil pengamatan tersebut dapat terlihat bahwa efek sedatif dari obat diazepam terjadi pada menit ke-7.
4.2.3 Pembahasan Subkutan (Kelompok 3A)
Pemberian secara subkutan adalah dengan memberikan injeksi pada bagian tengkuk atau tepatnya dibawah kulit. Kelebihan dari pemberian secara subkutan ini dapat dilakukan dalam keadaan sadar, akan tetapi juga dapat menimbulkan iritasi pada kulit yang disuntikkan jika tidak diberikan dan dibersihkan secara baik.
Pada saat melakukan tindakan, kelompok kami memiliki dua ekor mencit yang sudah disiapkan yaitu sebagai percobaan dan sebagai pembanding. Perlakuan pertama adalah dengan menimbang berat badan mencit. Karena banyaknya volume obat yang akan di injeksikan pada mencit tergantung pada berat badan mencit dengan menggunakan rumus VAO. Kemudian diberikan injeksi pada tengkuk. Setelah obat disuntikkan, mencit melakukan sedikit serangan dan beberapa saat kemudian mencit mengalami kejang-kejang. Pada menit pertama mencit mati. Kemungkinan yang menyebabkan mencit mati adalah karena cara penyuntikkan kami yang belum benar dan penusukan jarum yang terlalu dalam, sehingga membuat terkenanya organ lain pada mencit yang membuat mencit mati. Hal lainnya adalah ketika melakukan penyuntikkan kami melakukan dengan beberapa kali injeksi karena kondisi mencit yang sedikit liar, sehingga jika diberikan hanya dengan satu kali injeksi obat tidak semuanya masuk ke tempat sasaran, oleh karena itu kami melakukannya sebanyak dua kali.
Perlakuan selanjutnya kami menggunakan mencit yang kedua dengan bobot 28 g untuk dilakukan percobaan. Kami melakukan penyuntikan dengan lebih berhati-hati dan melakukan  satu kali tusukan di bagian tengkuk. Reaksi yang ditimbulkan mencit yaitu mengalami gatal-gatal dan menggaruk-garuk pada bagian yang disuntikkan. Setelah itu mencit berusaha untuk berdiri setelah obat diberikan, usaha tersebut pun berhasil. Pada saat 1 menit 40 pergerakkan mencit sudah mulai lambat. Kemudian saat memasuki menit ke 5 pergerakkan mencit pun semakin lambat. Pengamatan yang kami lakukan hanya sampai menit ke 30, reaksi yang ditimbulkan mencit adalah bergerak aktif kembali. Pada umunya pemberian obat secara subkutan memang memiliki reaksi yang cukup lama karena absorpsi terjadi secara konstan.
Pada rute pemberian obat secara subkutan umumnya absorpsi terjadi secara lambat dan kosntan sehingga efeknya bertahan lama. Oleh karena itu waktu yang dihasilkan ketika menimbulkan efek relatif cukup lama dibandingkan dengan intraperitoneal. Karena obat diabsorpsi cukup lama yaitu 30 menit, maka efeknya juga akan bertahan lama. Pada awal menit pertama ketika mencit disuntikkan dengan diazepam, mencit tidak menimbulkan reaksi yang spesifik, mencit hanya merasakan sedikit gatal pada bagian yang disuntikkan, setelah 5 menit kemudian, pergerakan mencit sudah mulai lambat, mencit mengalami efek resisten (tidak tidur akan tetapi mengalami ataksia), pada menit ke 9 mencit menimbulkan efek yang diinginkan yaitu tidur, akan tetapi bangun jika diberikan rangsang. Pada menit ke 30 mencit pun kembali aktif seperti semula dikarenakan efek obat diazepam yang diberikan sudah habis.
4.2.3 Pembahasan kelompok 4A
Pada perocobaan mencit keempat dilakukan pemberian obat dengan rute pemberian secara Intraperitoneal . Pada rute pemberian ini, obat disuntikkan ke dalam abdomennya, dengan cara mencit di pegang pada tengkuknya supaya posisi abdomennya lebih tinggi  dari kepala, dan pastikan pada saat penyuntikan abdomennya lebih tinggi dari kepala dengan membentuk sudut 10° dengan abdomennya. Pastikan jarum disuntikkan agak menepi dari garis tengah, untuk menghindari terkenanya kandung kencing dan jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai hati. Berdasarkan pengamatan terhadap respon mencit setelah pemberian obat dilakukan, pada detik ke-15 mencit mulai tenang dan mulai tidak bergerak. Pada menit ke-1 jalannya mulai sempoyongan (tidak seimbang). Pada menit ke-3 mencit sudah mulai lemah, mengantuk, dan jalannya semakin sempoyongan. Pada menit ke-7 mencit sudah tidak bergerak, tidak kuat bangun ketika ditidurkan di telapak tangan (diberikan rangsangan). Pada menit ke-9 mencit tidak mampu membalikkan badan. Pada menit ke-12 suhu tubuh mencit mulai panas. Pada menit ke-15 mulai timbul respon di bagian kepala apabila diberi rangsangan, detak jantung lebih cepat dari sebelumnya. Pada menit ke-34 mencit sudah mulai aktif bergerak.



                                                                                          











BAB V
PENUTUP

5.1    Kesimpulan
Dari praktikum ini dapat disimpulkan jika :
1.    Diazepam merupakan obat dari golongan Benzodiazepine. Benzodiazepine merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai obat antixiolitik.
2.    Rute pemberian obat yang memiliki onset tercepat terhadap mencit adalah intraperitoneal, hal ini sesuai dengan literatur.
3.    Rute pemberian obat yang memiliki durasi terlama terhadap mencit adalah oral, hal ini sesuai dengan literatur.

5.2    Saran
Sebaiknya dalam pemberian obat harus berhati-hati dan dilakukan secara tepat sesuai dengan prosedur agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan.
           













Daftar Pustaka

Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada UniversityPress : Yogyakarta
Katzung, Betram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika : Jakarta.
Siswandono, B .1995. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga Press
Tim Dosen Pengampu Praktikum Farmakologi. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Tangerang Selatan : UIN Jakarta